Jakarta (ANTARA) - Indonesia Fintech Society (IFSoc) menegaskan bahwa penetapan batas atas suku bunga pinjaman daring (pindar) bukanlah kartel, melainkan arahan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melindungi konsumen dari maraknya pinjol ilegal yang menawarkan suku bunga sangat tinggi.
“Penetapan ini bukanlah kartel. Kalau kita lihat ke belakang, saat itu OJK memberi arahan kepada AFPI untuk menata perilaku pasar lewat Code of Conduct. Langkah ini menjadi pijakan awal bagi diterbitkannya ketentuan batas atas manfaat ekonomi pindar yang langsung ditetapkan oleh OJK pada tahun 2023 dalam SEOJK 19/SEOJK.06/2023,” kata Anggota Dewan Pengarah IFSoc Tirta Segara dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Tirta menambahkan bahwa hal ini juga telah dijelaskan dalam surat OJK kepada Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) tanggal 16 Mei 2025.
“Tujuannya bagus, untuk melindungi konsumen dan masyarakat dari adanya suku bunga pinjol ilegal pada saat itu yang luar biasa tinggi,” ujar mantan Komisioner OJK (2017-2022) itu pula.
Tirta Segara menambahkan, penting dipahami bahwa yang ditetapkan adalah batas atas, bukan penyeragaman harga ataupun penetapan batas bawah.
“Fakta menunjukkan ruang kompetisi sesuai mekanisme pasar tetap terbuka. Kenyataannya banyak pelaku tidak mematok bunga di level yang sama. Sehingga tidak tepat jika dikatakan adanya ‘kartel; di industri fintech lending,” kata dia lagi.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sedang menyelidiki dugaan kartel terkait penetapan batas atas suku bunga di industri fintech lending atau pindar pada 2018.
Saat itu, marak pinjol ilegal yang menawarkan suku bunga tinggi. Untuk mengatasi masalah ini, OJK menginstruksikan AFPI untuk melakukan pengaturan batas atas suku bunga melalui code of conduct sebesar 0,8 persen per hari.
Batas atas suku bunga kembali diturunkan menjadi maksimal 0,4 persen pada 2021. Hal ini juga atas arahan OJK.
Selanjutnya, ketentuan batas atas suku bunga ini diambil alih langsung oleh OJK melalui Surat Edaran OJK (SEOJK) 19/SEOJK.06/2023 sebesar maksimal 0,3 persen (pinjaman konsumtif) dan 0,1 persen (pinjaman produktif).
IFSoc pun berpandangan bahwa masalah yang dituduhkan KPPU ini perlu ditempatkan dalam perspektif yang lebih luas dan objektif, khususnya menyangkut adanya kepentingan perlindungan konsumen dan penataan pelaku pasar.
Anggota Dewan Pengarah IFSoc Syahraki Syahrir juga menyampaikan pandangan yang senada. Ia menambahkan bahwa penetapan batas atas suku bunga ini membawa manfaat riil bagi masyarakat peminjam.
“Kita melihat suku bunga yang tadinya sangat tinggi akhirnya bisa terus diturunkan. Batas atas ini berfungsi sebagai pagar pengaman, sementara harga tetap bergerak mengikuti mekanisme pasar,” ujar Syahraki.
Syahraki merekomendasikan agar KPPU bisa duduk bersama OJK untuk membahas persoalan ini. Apabila terbukti kebijakan tersebut menimbulkan distorsi pasar, maka lembaga terkait diminta mengevaluasi atau mencabut kebijakannya. Namun, konsumen harus tetap menjadi prioritas.
“Kita memerlukan ekosistem yang melindungi peminjam dari praktik pinjaman eksesif sambil menjaga kompetisi agar mendorong inovasi dan akses pembiayaan yang lebih luas. Di sinilah pentingnya regulatory coherence antara otoritas sektor keuangan dan otoritas persaingan usaha,” kata Syahraki.
Baca juga: OJK sebut aturan bunga harian bantu bedakan pinjol resmi dan ilegal
Baca juga: OJK: Penetapan batas maksimum suku bunga Pindar akan lindungi konsumen
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.