
REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Masyarakat Hukum Adat (MHA) Malaumkarta Raya mengambil langkah penting menjaga kelestarian sumber daya laut dan pesisir.
Yakni, dengan mengesahkan Peraturan Adat tentang Pengelolaan Sumber Daya Laut dan Pesisir. Pengesahan dilakukan melalui musyawarah adat dan prosesi adat di Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong.
Dihadiri para pemangku adat, tokoh masyarakat, pemerintah, serta mitra pembangunan.
“Masyarakat adat memiliki hak atas wilayahnya, hak untuk menentukan arah pembangunan, serta hak untuk menikmati hasil kekayaan alam yang ada di atas dan di bawah tanah mereka,” papar Gubernur Papua Barat Daya Elisa Kambu dalam siaran persnya, yang diterima redaksi, Jumat.
Karena itu, lanjut Gubernur Elisa, pemerintah daerah berkomitmen memperkuat kebijakan perlindungan hak-hak masyarakat adat, baik melalui pengakuan hukum, penetapan wilayah adat, maupun sinergi dalam penataan ruang dan pembangunan daerah.
“Melalui dokumen Peraturan Adat ini kita belajar bahwa adat dan hukum negara tidak harus bertentangan. Keduanya dapat berjalan beriringan saling melengkapi dalam mewujudkan keadilan sosial, pelestarian lingkungan, dan kesejahteraan bersama,” tambah Elisa.
Upaya ini tindak lanjut dari mandat Peraturan Bupati Sorong Nomor 7 Tahun 2017 yang memberikan pengakuan kepada masyarakat adat Suku Moi, untuk mengelola kawasan pesisir seluas kurang lebih 4.000 hektare di Malaumkarta.
Melalui peraturan adat, legitimasi pengelolaan laut berbasis kearifan lokal semakin diperkuat dengan dasar hukum yang jelas dan diakui bersama.
Ketua Dewan Adat Suku Moi, Pendeta Paulus K. Safisa, menegaskan pengesahan peraturan adat ini bagian dari tanggung jawab generasi saat ini untuk memastikan kelestarian alam sekaligus kesejahteraan anak cucu di masa depan.
“Pengakuan terhadap hukum adat bukan hanya bentuk penghormatan terhadap budaya masyarakat, tetapi juga kunci untuk menjaga sumber daya laut tetap lestari. Ini adalah contoh bagi seluruh Suku Moi agar kearifan lokal yang sudah ada dapat dituangkan dalam peraturan tertulis dan diakui secara adat,” tegasnya.
Masyarakat Moi telah lama mempraktikkan egek, yaitu penutupan sementara area penangkapan untuk memulihkan stok ikan dan biota laut.
Kini, tradisi ini dipekuat melalui Peraturan Adat dengan penetapan zona egek, zona tabungan ikan, hingga zona keramat (kofok dan soo). Peraturan juga mengatur penggunaan alat tangkap ramah lingkungan, sekaligus melarang praktik destruktif seperti penggunaan bom, potasium, jaring, maupun akar tuba.
Menurut Manajer Senior Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Bentang Laut Kepala Burung, Awaludinnoer, penguatan tradisi ini bagian dari sinergi ilmu pengetahuan dengan kearifan lokal.
“Egek adalah tradisi yang menjaga laut tetap produktif. YKAN mendukung masyarakat dengan pendampingan monitoring wilayah egek agar waktu buka dan hasil panennya sesuai dengan prinsip keberlanjutan,” jelasnya.
Selain itu, sejak 2022 nelayan Malaumkarta juga berpartipasi mencatat hasil tangkapannya melalui sistem Crew-Operated Data Recording System (CODRS).
Data tersebut membantu masyarakat menentukan kebijakan pengelolaan yang berbasis bukti ilmiah.
“Penyusunan peraturan adat ini langkah strategis mengintegrasikan kearifan lokal dengan pendekatan ilmiah,” timpal Manajer Senior Perikanan Berkelanjutan YKAN, Glaudy Perdanahardja.
Glaudy menilai dengan sinergi tersebut, aturan adat tidak hanya memiliki legitimasi budaya, tetapi juga landasan teknis yang kuat untuk mendorong praktik perikanan yang berkelanjutan
Warisan Generasi Mendatang
Dokumen resmi Peraturan Adat MHA Malaumkarta Raya ditandatangani melalui prosesi adat yang khidmat, disaksikan oleh perwakilan pemerintah dan mitra pembangunan.
Keterlibatan berbagai pihak memastikan aturan adat bersifat inklusif dan menjadi kesepakatan bersama.
Ketua Unit Pengelola MHA Wooti Kook Malaumkarta Raya, Torianus Kalami, menekankan bahwa fungsi peraturan adat adalah untuk mengatur pemanfaatan, bukan melarang masyarakat mengambil hasil laut.
“Peraturan adat ini memastikan pemanfaatan sumber daya laut dilakukan secara bijak sehingga tetap lestari dan dapat dinikmati generasi mendatang,” ungkapnya.
Selain menjaga keseimbangan ekologi, peraturan adat turut memperkuat nilai-nilai sosial-budaya dan memberikan kepastian ekonomi bagi nelayan lokal.
Melalui pendekatan pengelolaan berbasis masyarakat, nelayan memperoleh hak akses eksklusif untuk mengelola wilayah laut mereka secara mandiri, tanpa khawatir kehilangan ruang hidup akibat praktik eksploitasi yang merusak.
Bagi masyarakat Malaumkarta, penyusunan dan pengesahan peraturan adat ini wujud nyata tanggung jawab menjaga laut. Upaya ini memastikan sumber daya pesisir tidak hanya memberikan kehidupan hari ini, tetapi juga tetap menjadi warisan bagi generasi mendatang.
Taufik Hidayat