Membangun Platform Fiskal Zakat-Pajak: dari Retorika ke Kebijakan

8 hours ago 6
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
 dari Retorika ke Kebijakan (MI/Seno)

PERNYATAAN Menteri Keuangan Sri Mulyani saat membuka Sarasehan Ekonomi Syariah baru-baru ini kembali menggugah diskursus publik: apakah zakat dan pajak bisa disetarakan sebagai kewajiban sosial menjadi bagian dari keuangan publik? Bagi sebagian kalangan, ucapannya memantik kritik karena dianggap menyederhanakan hal yang berbeda.

Namun, sesungguhnya momentum itu penting untuk membuka ruang pembaruan kebijakan fiskal. Indonesia sudah saatnya membangun platform fiskal yang mengintegrasikan zakat dan pajak secara adil, transparan, dan berdampak nyata.

DUA WAJAH KEWAJIBAN: TEOLOGIS DAN FISKAL

Zakat ialah kewajiban teologis umat Islam dengan distribusi ketat kepada delapan golongan penerima (mustahik). Pajak ialah kewajiban kenegaraan yang berlaku lintas agama. Keduanya berbeda sumber legitimasi, tetapi di Indonesia keduanya berjalan berdampingan.

Bagi seorang muslim, zakat tidak bisa ditawar. Sementara itu, sebagai warga negara, pajak juga wajib dibayar. Artinya, ada potensi beban ganda. Jika tidak ada jembatan kebijakan, publik akan merasa zakat dan pajak berjalan dalam dua lorong terpisah, padahal keduanya sama-sama ditujukan untuk kemaslahatan publik.

STATUS QUO: DEDUCTIBLE YANG KURANG EFEKTIF

Saat ini Indonesia menempatkan zakat sebagai tax deductible. Berdasarkan PP No 60 Tahun 2010, zakat yang disetorkan melalui Baznas atau LAZ resmi dapat mengurangi penghasilan bruto sebelum pajak dihitung. Dengan kata lain, zakat hanya menurunkan dasar pengenaan pajak, bukan langsung memotong pajak terutang.

Konsekuensinya, dampak zakat terhadap beban pajak sangat bergantung pada tarif. Jika seorang wajib pajak berada pada tarif 5%, zakat Rp10 juta hanya mengurangi pajak Rp500 ribu. Namun, jika berada di tarif 30%, dampaknya Rp3 juta. Skema itu terasa tidak adil secara psikologis karena insentifnya tidak sebanding dengan zakat yang dibayarkan.

Tidak heran jika survei Baznas menunjukkan banyak muzaki mengaku tetap merasa 'bayar dua kali' meski sudah ada pengurang pajak. Inilah yang membuat insentif fiskal berbasis zakat terasa kurang menggugah partisipasi.

BELAJAR DARI MALAYSIA DAN PAKISTAN

Malaysia memilih pendekatan berbeda. Lembaga Hasil Dalam Negeri (LHDN) memberi perlakuan zakat sebagai rebate (tax credit). Artinya, zakat yang dibayarkan langsung mengurangi pajak terutang, ringgit demi ringgit, hingga sebesar kewajiban pajaknya. Jika seseorang membayar zakat RM5.000 dan pajaknya RM6.000, pajaknya tinggal RM1.000.

Pakistan lebih konservatif. Mereka tetap menempatkan zakat sebagai deductible meski ada beberapa kombinasi insentif untuk donasi tertentu. Beberapa negara Timur Tengah bahkan memasukkan zakat sebagai substitusi pajak bagi muslim meski model ini tidak relevan dengan sistem fiskal Indonesia yang plural.

Pelajarannya jelas: desain fiskal zakat-pajak ialah pilihan politik dan teknokratis. Negara bisa memilih model kredit untuk mendorong kepatuhan zakat atau tetap di jalur deductible dengan risiko insentif yang kurang kuat.

POTENSI ZAKAT: BESAR, TAPI TERTINGGAL

Indonesia dikenal sebagai negara dengan potensi zakat terbesar di dunia. Laporan Baznas dan Bank Dunia memperkirakan potensi zakat nasional mencapai Rp327-Rp350 triliun per tahun. Namun, realisasi jauh di bawah itu. Pada 2024, total penghimpunan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lain baru mencapai sekitar Rp26 triliun atau kurang dari 8% dari potensinya.

Padahal, kontribusi zakat terhadap pengentasan kemiskinan sangat signifikan. Data Baznas menunjukkan lebih dari 60% penerima manfaat zakat ialah rumah tangga miskin dan program zakat produktif berhasil meningkatkan pendapatan mustahik rata-rata 30%-40% dalam setahun. Dengan kata lain, jika potensi zakat benar-benar tergarap, ia bisa menjadi akselerator serius untuk menekan angka kemiskinan ekstrem yang per Maret 2025 masih tercatat 9,36% penduduk (sekitar 25 juta orang).

Di sisi lain, penerimaan pajak masih menjadi tulang punggung APBN. Pada 2024, pajak menyumbang lebih dari Rp1.900 triliun atau 78% dari pendapatan negara. Artinya, integrasi zakat dengan pajak tidak boleh merusak basis penerimaan, tapi justru harus memperkuat legitimasi fiskal negara di mata publik.

TAX CREDIT VS TAX DEDUCTIBLE: PILIHAN STRATEGIS

Perdebatan ini tampak teknis, tapi dampaknya strategis.

- Tax deductible: zakat mengurangi penghasilan kena pajak. Dampak ke pajak tidak langsung dan terasa kecil bagi tarif rendah. 

- Tax credit: zakat langsung mengurangi pajak terutang, rupiah demi rupiah. Insentifnya jelas, mudah dipahami, dan lebih adil bagi muzaki.

Namun, tax credit berarti biaya fiskal negara meningkat. Jika zakat Rp50 triliun diakui sebagai kredit penuh, potensi penerimaan pajak berkurang Rp50 triliun. Karena itu, solusi tengah ialah kredit terbatas: misalnya diberi plafon maksimal 10%-15% dari pajak terutang atau hanya berlaku pada kelompok wajib pajak tertentu sebagai pilot project.

MERANCANG PLATFORM FISKAL

Jika Indonesia serius membangun platform fiskal zakat-pajak, ada tiga fondasi utama. Pertama, regulasi. Ubah aturan agar jelas apakah zakat tetap deductible atau beralih ke kredit. Jika kredit, perlakukan sumbangan wajib agama lain setara agar tidak diskriminatif.

Kedua, data dan teknologi. Integrasikan sistem DJP dengan Baznas/LAZ melalui API. Setiap setoran zakat otomatis tercatat di SPT sehingga mengurangi risiko ganda dan memudahkan audit.

Ketiga, insentif bertahap. Mulai dengan ASN, BUMN, hingga segmen UMKM. Evaluasi dampak sosial dan fiskalnya, lalu kembangkan bertahap. Dengan tiga langkah itu, zakat dan pajak tidak lagi berjalan terpisah, tetapi bersinergi dalam satu ekosistem fiskal yang kuat.

Risiko dan jalan keluar. Tiga risiko besar menanti:

1. Kepatuhan. Tanpa integrasi digital, bukti zakat rawan dipalsukan.

2. Kebocoran fiskal. Tax credit bisa mengurangi penerimaan signifikan. Karena itu, perlu plafon, audit ketat, dan sunset clause.

3. Keadilan. Skema harus inklusif, memberi perlakuan setara untuk sumbangan keagamaan wajib agama lain. Risiko ini nyata, tapi bisa dikelola dengan regulasi jelas, sistem digital modern, dan evaluasi periodik.

PENUTUP: DARI RETORIKA KE KEBIJAKAN

Selama ini, isu zakat dan pajak kerap berhenti pada retorika. Potensi zakat ratusan triliun, tetapi realisasi hanya puluhan triliun. Insentif fiskal ada, tapi kurang efektif. Padahal zakat bisa menjadi instrumen penting dalam mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan, terutama pengentasan kemiskinan dan penguatan jaring pengaman sosial.

Tax credit bukan sekadar insentif. Ia bisa menjadi simbol keberanian negara memberi ruang lebih besar bagi instrumen keuangan syariah untuk menopang fiskal nasional. Indonesia tidak harus menyalin Malaysia sepenuhnya, tapi bisa merancang model hybrid yang sesuai dengan kebutuhan dan struktur ekonominya.

Momentum pernyataan Menkeu jangan dibiarkan lewat. Saatnya beranjak dari wacana menuju kebijakan nyata. Dari retorika ke aksi. Dari deductible ke arah kredit yang terukur. Dengan itu, zakat tidak hanya menjadi ibadah personal, tapi juga instrumen kolektif yang memperkuat keadilan sosial dan legitimasi fiskal negara.

Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.

Read Entire Article