
SERANGAN Hamas terhadap Israel, 7 Oktober 2023, membangkitkan simpati internasional, khususnya sekutu Israel, terhadap pemerintahan esktrem kanan Israel. Serangan Hamas menewaskan 1.231 warga Yahudi dan 253 orang lainnya disandera di terowongan-terowongan Gaza. Namun, balasan brutal Israel selama 22 bulan terakhir dengan menghancurkan nyaris seluruh infrastruktur sipil penunjang kehidupan di Gaza, membunuh dengan sengaja rakyat sipil, dan menjadikan kelaparan sebagai senjata membuat keadaan berbalik.
Badan PBB urusan kemanusiaan, lembaga-lembaga HAM internasional, Mahkamah Internasional (ICJ), dan Mahkamah Kriminal Internasional (CC) menyatakan Israel melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan genosida. ICC bahkan mengeluarkan surat perintah penangkapan (arrest warrants) terhadap PM Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant. Namun, Israel tak menggubris seruan internasional untuk segera menghentikan perang dan membuka akses bagi masuknya bantuan kemanusiaan.
Sikap kepala batu Netanyahu untuk tetap menyerang rakyat sipil saat berebut makanan disebabkan pemerintahan AS di bawah Presiden Donald Trump tetap mendukungnya, dengan terus memasok senjata dan memberikan perlindungan diplomatik. Sekutu-sekutu Israel di Eropa, seperti Jerman, Inggris, Prancis, dan Italia, secara diam-diam melakukan hal yang sama.
ARUS BALIK
Bagaimanapun, belakangan ini pemerintahan Netanyahu menghadapi arus balik politik. Presiden Prancis Immanuel Macron menyatakan akan mengakui negara Palestina pada Sidang Majelis Umum PBB pada September mendatang. PM Inggris Keir Starmer juga mengancam akan mengakui negara Palesatina bulan depan bila Israel tidak menghentikan perang, membuka akses bagi masuknya bantuan kemanusiaan, dan bersedia menerima konsep two-state solution. Kanada dan Australia juga akan melakukan hal yang sama. Slovenia bahkan menghentikan pasokan senjata ke Israel.
Sementara itu, pada akhir Juli, Arab Saudi dan Prancis mensponsori konferensi PBB tentang negara Palestina yang diboikot Israel dan AS. Rilis hasil konferensi itu meminta Hamas melucuti senjata mereka, dan tidak lagi berperan dalam pemerintahan Palestina pascaperang yang akan dikendalikan Otoritas Palestina yang didominasi Fatah pimpinan Presiden Mahmoud Abbas. Keamanan Israel akan dijamin. Perang harus diakhiri secepatnya dengan Hamas membebaskan sisa 50-an sandera, baik yang masih hidup maupun yang tinggal jenazah.
Selanjutnya, Israel mundur dari Gaza dan Tepi Barat, disusul dengan dimulainya perundingan dengan Palestina bagi two-state solution berdasarkan batas-batas pada 1967 dengan wilayah Palestina meliputi Jerusalem Timur, Tepi Barat, dan Gaza, sesuai dengan resolusi-resolusi DK PBB yang relevan. Peserta konferensi, termasuk Liga Arab, meyakini hanya dengan berdirinya negara Palestina, stabilitas kawasan dapat dipelihara. Hamas menyatakan bersedia melucuti senjata mereka hanya kalau negara Palestina terwujud.
Memang tanpa Brigade al-Qassam, sayap militer Hamas, sebagai pressure group, posisi Palestina akan sangat lemah dalam perundingan menghadapi Israel dukungan AS sehingga nyaris mustahil Israel akan bersedia membiarkan berdirinya negara Palestina yang berdaulat, independen, dengan wilayah sesuai dengan Resolusi DK PBB No 242, 338, 181, dan 194.
Resolusi 181 mengharuskan Israel menyerahkan Jerusalem Timur ke Palestina. Sementara itu, Resolusi 194 mengharuskan Israel membuka pintu bagi kembalinya 5,9 juta pengungsi Palestina yang tersebar di Gaza, Tepi Barat, Yordania, Suriah, dan Libanon.
Israel sendiri, baik partai-partai sayap kanan maupun kiri, tak menghendaki berdirinya negara Palestina yang berdaulat dan independen. Dalam Kesepakatan Oslo 1993 yang ditandatangani Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Partai Buruh di bawah PM Yitzhak Rabin, Palestina diproyeksikan akan memiliki negara dalam lima tahun (1998), tetapi tanpa Jerusalem Timur, pengungsi Palestina tak dibolehkan kembali ke kampung halaman mereka di Israel, dan Palestina tak boleh memiliki angkatan bersenjata.
Hal itu baru diketahui pemimpin PLO Yasser Arafat ketika berunding berhari-hari di Camp David, AS, dengan PM Israel Ehud Barack. Arafat mengira Kesepakatan Oslo yang diarsiteki Mahmoud Abbas akan berujung pada pendirian negara Palestina yang berdaulat dan independen. Karena itu, Arafat menolak tawaran Barack.
Partai sayap kanan Likud bahkan hanya bersedia memberikan kepada entitas Palestina (non-Hamas dan non-Fatah) mengurus warga Palestina di kantong-kantong di Tepi Barat, Gaza, dan Gurun Negev di perbatasan Sinai (Mesir), tanpa Jerusalem Timur dan hilangnya hak pengungsi untuk pulang, dengan Israel mengendalikan keamanannya.
Hal itu sejalan dengan apa yang disampaikan Presiden AS Donald Trump pada periode pertama pemerintahannya (2017-2021), yang dia sebut sebagai Deal of the Century (Perdamaian Abad Ini). Mahmoud Abbas mengejeknya sebagai 'Tamparan Abad Ini'.
Kendati hasil konferensi PBB sulit diterima Israel, Netanyahu juga punya kepentingan pribadi untuk melanjutkan kekejian di Gaza sampai Hamas menyerah, yaitu menjaga keberlanjutan kekuasaan dan karier politiknya. Namun, modal politiknya untuk itu semakin menipis. Di dalam negeri, makin besar tekanan publik agar Netanyahu deal dengan Hamas demi pembebasan sisa sandera. Pada 2 Agustus, tak kurang dari 60 ribu rakyat Israel berdemonstrasi di Tel Aviv mengecam sikap Netanyahu yang membuat reputasi internasional Israel berantakan dan nyawa sisa sandera di Gaza terancam.
Di AS, menurut hasil survey Gallup bulan lalu, pendukung perang Israel di Gaza anjlok cukup signifikan. Kini tinggal 32% warga yang mendukung perang. Di Senat juga demikian. Sebelumnya pendukung Palestina hanya datang dari Partai Demokrat progresif, tetapi kini kaum konservatif ikut bergabung. Sementara itu, pada Oktober akan berlangsung pemilu sela di AS. Bila Netanyahu mempertahankan kebijakan perangnya di Gaza dan Trump tetap mendukungnya, suara Partai Republik akan ikut nyungsep.
KONTRAPRODUKTIF
Bisa jadi Trump menginginkan perang diakhiri segera dengan warga Gaza mendapat pangan dan obat-obatan yang cukup, tapi ia tak mampu melawan para hawkish di pemerintahannya, serta lobi Yahudi yang telah mengeluarkan ratusan juta dolar AS bagi kemenangan Trump dalam pilpres dan kaum Evangelis yang menjadi basis pendukungnya.
Ketidakberdayaan Trump menghadapi pemerintahan Netanyahu justru dimanfaatkan Netanyahu untuk menganeksasi Gaza utara dan Tepi Barat, sesuai dengan permintaan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir kepada siapa kekuasaan Netanyahu bergantung. Tujuannya membuat negara Palestina tidak relevan.
Namun, dengan mempertimbangkan situasi regional dan internasional saat ini, sikap itu tidak produktif. Bahkan hanya merugikan Israel sendiri dan AS. Israel akan semakin terkucil secara regional dan internasional. Pengaruh AS di kawasan juga akan makin melemah yang mengganggu fokus mereka ke Indo-Pasifik untuk menghadapi Tiongkok.
Upaya menggencet Iran pun tidak efektif karena tidak ada negara Arab yang bersedia membantu AS. Sementara itu, Palestina secara keseluruhan kian teradikalisasi dan eksistensi Hamas yang mustahil bisa dihancurkan Israel menemukan justifikasi dan legitimasinya.
Israel dan AS harus kembali ke hati nurani dan akal sehat. Geopolitik dan geoekonomi global telah berkembang sedemikian rupa sehingga membunuh aspirasi sebuah bangsa yang didukung seluruh negara regional, PBB, dan organisasi internasional, terutama lembaga tandingan Barat bernama BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan) plus Turki, Mesir, Iran, Uni Emirat Arab, dan Indonesia, merupakan tindakan tak bermoral dan tidak masuk akal. Berdirinya Israel dimungkinkan ketika puncak kolonialisme Barat sedang di puncak kejayaan dan akibat holocaust yang dilakukan Nazi Jerman atas kaum Yahudi.
Namun, era itu telah lama lewat dan Barat kini menghadapi kekuatan tandingan. Bahkan, kepercayaan Barat terhadap AS di bawah Trump merosot akibat kebijakan nasionalisme dan isolasionismenya yang melemahkan kohesinya dengan sekutu tradisional. Bila Israel ingin terintegrasi ke dalam Timteng dan Trump hendak 'Make America Great Again', 'berdamai' dengan Timteng yang strategis untuk menciptakan stabilitas di kawasan merupakan keniscayaan. Kalau tidak, Timteng akan membuka pintu mereka lebar-lebar bagi kerja sama ekonomi dan keamanan dengan Tiongkok dan Rusia, untuk mengimbangi pengaruh AS.
Hubungan Arab dengan Iran pun akan menguat untuk mengimbangi Israel. Perang 12 hari Iran melawan Israel dengan bantuan AS mengejutkan negara-negara Arab. Kendati kerugian yang diderita Iran lebih besar, di luar dugaan Israel, rudal-rudal balistik Iran mampu menembus sistem pertahanan udara berlapis mili...