
\Saat itu, belum genap berusia 25 tahun, sebuah kenyataan pahit menimpa diri seorang perempuan asal California, Alexis Klimpl. Pada suatu malam, saat tengah berbaring di tempat tidurnya, Klimpl mengulurkan tangan untuk menggaruk rasa gatal, tetapi tangannya seketika membeku tatkala jari-jarinya merasakan keberadaan benjol kecil dan keras di payudara kanannya.
Segala macam dugaan berputar di kepalanya: jaringan fibrosa, kista, hingga tumor jinak. Namun, ada satu hal yang melekat tak bisa ia singkirkan: kanker payudara. Lebih lanjut, pada 2025, American Cancer Society memperkirakan sekitar 316.950 perempuan di Amerika Serikat akan didiagnosis menderita penyakit tersebut. Namun, hanya sebagian kecil kasus terjadi pada perempuan di bawah usia 45 tahun.
Meski cemas, Klimpl tidak langsung memeriksanya. Ia tetap menjalani hari-harinya sesuai dengan jadwal yang telah ia rancang. Bahkan perempuan muda itu sempat pergi ke Indonesia selama tiga minggu untuk berselancar.
Pemeriksaan
Tak berselang lama dari kepulangannya berlibur, Klimpl menyadari bahwa benjolan di payudaranya semakin tumbuh besar, seukuran buah anggur. Rasa cemas kembali menyerangnya, ia memutuskan untuk segera memeriksanya.
Dokter memintanya untuk melakukan mammogram dan biopsi. Keesokan paginya, ketakutan terburuknya terbukti: benjolan yang tinggal di payudara kanannya itu selama kurang dari sebulan ini adalah kanker payudara triple positif stadium 1. Dua minggu kemudian, hasil pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) menunjukkan jika benjolan itu telah berkembang ke stadium 2.
Pengobatan, Pengorbanan, dan Kelangsungan Hidup
Dokter memperingatkannya kemoterapi dapat mengancam kemampuannya untuk memiliki anak secara alami dan suntikan hormon untuk mencegah kanker di masa depan dapat membuatnya mengalami menopause dini. Jadi, dia menemui spesialis kesuburan dan mendapat saran untuk melakukan pembekuan sel telurnya.
Alexis menjalani enam siklus kemoterapi dan selama itu pula ia mengalami efek samping seperti mual, kelelahan, dan kehilangan sekitar 30% rambutnya meski ia telah menggunakan teknik pelindung dingin pada kulit kepala. Pelindung dingin yang dikenakannya juga memberikan rasa sakit kepala, menggigil, pusing, dan nyeri pada kulit kepala. Selain itu, ia sempat merasa terisolasi karena kelompok penyintas kanker payudara di rumah sakit tempatnya dirawat sebagian besar adalah perempuan berusia 40 hingga 50-an.
Sisa kemoterapi Klimpl lebih ringan dari yang dia kira meski tetap disertai rasa lelah, nyeri tubuh, dan ruam. “Aku merasakannya di seluruh tubuh. Rasa mual itu selalu ada, setiap hari, selama empat setengah bulan.”
Setelah kemoterapi, Klimpl menjalani serangkaian operasi: pengangkatan tumor, mastektomi ganda, dan rekonstruksi payudara. Meskipun tahu bahwa mastektomi ganda akan menghilangkan kemampuan menyusui, ia tetap memilih langkah ini untuk mengurangi risiko kekambuhan kanker.
Selama beberapa waktu ke depan, Klimpl juga harus mendapatkan infus hormon dan pil KB untuk menurunkan risiko kambuhnya kanker. Perawatan tersebut mendorongnya memasuki masa menopause di usianya yang baru menginjak 25 tahun.
“Aku merasakan sensasi panas 20 kali dalam sehari, insomnia, nyeri sendi, kering pada vagina, dan perubahan suasana hati,” kata Klimpl.
Kekuatan dalam Perjuangan
Berselancar adalah salah satu motivasinya untuk sembuh. Meski sempat vakum karena kemoterapi, Klimpl senang saat ini dirinya bisa kembali berselancar. Meski harus merasakan menopause dini, perempuan yang tetap memegang harapan pada masa depan itu kini telah bebas dari kanker payudara. (New York Post/USA Today/Z-2)