MENTERI Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nusron Wahid akhirnya meminta maaf atas pernyataannya soal kepemilikan tanah. Ia mengklarifikasi pernyataannya yang sempat memicu polemik.
“Memang ada bagian pernyataan yang saya sampaikan sebetulnya konteks guyon atau bercanda. Namun, setelah saya menyaksikan ulang, kami menyadari dan mengakui pernyataan tersebut. Candaan tersebut tidak tepat, tidak sepantasnya, dan tidak selayaknya untuk kami sampaikan, apalagi disampaikan pejabat publik,” kata Nusron Wahid dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa, 12 Agustus 2025, seperti dikutip dari Antara.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Kronologi Pernyataan Nusron
Polemik berawal ketika Nusron mengungkapkan, ada sekitar 100.000 hektare tanah yang berpotensi telantar pada 6 Agustus 2025. Dia mengatakan, pemerintah bisa menyita tanah tersebut jika resmi ditetapkan sebagai tanah telantar setelah melampaui masa sanggah selama dua tahun.
Nusron mengatakan, tanah telantar selama dua tahun dapat diambil alih oleh negara. Menurutnya, pada dasarnya seluruh tanah di Indonesia adalah milik negara sementara masyarakat hanya diberi hak kepemilikan atas penggunaan tanah tersebut.“Perlu diketahui tanah itu tidak ada yang memiliki, yang memiliki tanah itu negara, orang itu hanya menguasai," kata Nusron kepada wartawan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, Rabu, 6 Agustus 2025.
Namun, Nusron menegaskan bahwa tanah milik masyarakat dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) seperti pekarangan, sawah, atau tanah warisan tidak akan terdampak oleh kebijakan tersebut. Pernyataan Nusron itu pun menuai beragam komentar, termasuk dari kalangan akademisi.
Salah satu kritik datang dari Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Herlambang Perdana Wiratraman. Herlambang menilai pernyataan Nusron berbahaya dan menyesatkan.
Menurut Herlambang, makna istilah “dikuasai negara” bukan berarti negara menjadi pemilik tanah secara mutlak. Namun, negara bertugas mengatur, mengelola, dan mendistribusikan tanah untuk kemakmuran rakyat. “Rakyat tetap pemilik tanah. Negara hanya diberi mandat untuk memastikan distribusi yang adil,” ujar Herlambang dalam keterangannya, Minggu, 10 Agustus 2025.
Pada Selasa, 12 Agustus 2025, Nusron mengklarifikasi pernyataannya tersebut. Ia menjelaskan bahwa pernyataan itu merujuk pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam pasal itu disebutkan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Ia menjelaskan, negara bukan sebagai pemilik mutlak tanah melainkan sebagai pihak yang menguasai sumber daya untuk kemanfaatan rakyat. Adapun konteks ucapan Nusron yang menuai polemik itu ia sampaikan saat menjawab pertanyaan wartawan ihwal rencana pemerintah menyita tanah bersertifikat Hak Guna Usaha (HGU) yang ditelantarkan.
Nandito Putra dan Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Mengapa DPR Ingin Mengebut Pembahasan RUU Haji