Pendidikan Tinggi dan Penguatan Soft Skills: Tantangan Relevansi dan Kesiapan Kerja

2 weeks ago 7
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
MI/Duta MI/Duta(Dok. Pribadi)

PADA 124 tahun yang lalu, tepatnya pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina mengumumkan kebijakan politik etis Belanda untuk rakyat kolonialnya. Kebijakan yang dikenal sebagai Trias Van Deventer itu memiliki tiga program: irigasi (membangun sarana pengairan), emigrasi (mendorong perpindahan penduduk/transmigrasi), dan edukasi.

Sejarah mencatat, dari tiga program itu, edukasi membawa dampak paling signifikan bagi lahirnya Negara Indonesia. Di kala itu, program edukasi sejatinya dimaksudkan untuk mencetak tenaga-tenaga terampil yang akan membantu jalannya administrasi pemerintahan Hindia Belanda.

Namun, tinta sejarah menorehkan cerita yang berbeda. Edukasi tidak saja sukses menjadi instrumen mobilitas sosial dengan meningkatkan derajat rakyat Indonesia saat itu, tapi juga memicu kesadaran akan semangat kemerdekaan. Kaum muda terpelajar terbukti menjadi aktor utama misi kemerdekaan Indonesia.

Satu abad berlalu, peran pendidikan, terutama pendidikan tinggi, dan isu mobilitas sosial itu menjadi semakin penting untuk dicermati, terutama di tengah ancaman fenomena middle income trap bagi perekonomian Indonesia. Ada banyak bukti yang mengungkap korelasi pendidikan tinggi dengan mobilitas sosial. Salah satunya riset yang dijalankan Institute for Fiscal Studies (IFS) bersama Sutton Trust.

Riset itu menarik karena melacak jejak mahasiswa yang masuk ke berbagai perguruan tinggi di Inggris pada periode 2004-2006, lulus kuliah 2007-2009, kemudian dihitung pendapatan mereka saat memasuki usia 30-an pada 2015-2019. Hasilnya menunjukkan pelajar yang berasal dari keluarga berpendapatan rendah memiliki peluang 4 kali lipat lebih tinggi untuk mencapai mobilitas sosial menjadi keluarga berpendapatan lebih tinggi jika masuk ke perguruan tinggi, apabila dibandingkan dengan pelajar dari kelompok sama yang tidak masuk ke perguruan tinggi.

FENOMENA SARJANA PENGANGGURAN

Di Indonesia, optimalisasi perguruan tinggi sebagai tangga kemakmuran atau eskalator mobilitas sosial menghadapi dua tantangan utama. Tantangan pertama, akses. Tak dapat dimungkiri, tidak semua pelajar di Indonesia memiliki akses yang setara untuk menapaki tangga pendidikan tinggi. Ketimpangan ekonomi, geografis, dan kultural masih menjadi penghalang utama. Dalam konteks itu, beasiswa yang inklusif menjadi kunci untuk membuka peluang yang lebih luas.

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2021 menunjukkan siswa dari keluarga berpenghasilan rendah memiliki akses yang lebih kecil ke pendidikan tinggi dan bahkan ketika mereka berhasil masuk, mereka menghadapi tantangan dalam bersaing dengan rekan-rekan yang memiliki akses lebih besar terhadap kegiatan pengayaan.

Tantangan kedua, kompetensi. Itu terkait dengan fenomena sarjana pengangguran yang marak di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) periode Februari 2025 menunjukkan jumlah pengangguran di Indonesia mencapai angka 7,28 juta orang. Dari jumlah tersebut, 1,01 juta di antaranya sarjana atau lulusan perguruan tinggi. Itu angka yang sangat besar.

Mengapa fenomena semacam itu terjadi? Bicara angka pengangguran memang harus dilihat dari dua perspektif, yakni supply and demand. Dari sisi demand, stagnasi pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir yang berkutat di angka 5% menjadi salah satu sebab turunnya serapan tenaga kerja. Apalagi, sepanjang triwulan I 2025, ekonomi hanya tumbuh 4,87% dan sepanjang tahun diproyeksi sulit mencapai angka 5%. Artinya, tantangan dari sisi demand akan makin berat.

Bagaimana dari sisi supply? Setiap tahun, Indonesia mencetak sekitar 1,8 juta sarjana. Artinya, dari aspek kuantitas cukup banyak. Namun, aspek kualitas menjadi PR besar yang harus benar-benar serius diselesaikan.

Kementerian Ketenagakerjaan menyebut penyebab paling dominan dari tingginya pengangguran sarjana ialah mismatch. Artinya, kompetensi lulusan perguruan tinggi tidak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Kalangan pengusaha seperti Kadin atau Apindo juga sering mengungkap hal serupa.

SOFT SKILLS SEBAGAI INVESTASI SOSIAL JANGKA PANJANG

Mengapa mismatch terus terjadi? Future of Jobs Report 2025 dari World Economic Forum (WEF) menyebut beberapa core skills atau keterampilan utama yang harus dimiliki tenaga kerja pada 2025. Apa itu? Analytical thinking (berpikir kritis); resilience, flexibility and agility (memiliki daya tahan, fleksibel, tangkas); leadership and social influence (berjiwa kepemimpinan dan mampu memberi pengaruh sosial); creative thinking (berpikir kritis); dan motivation and self-awareness (motivasi dan kesadaran diri).

Karena itu, meminjam istilah Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Prof Rhenald Kasali, mahasiswa tidak boleh terjebak dalam predikat 'mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang)' sebab proses belajar tidak hanya terjadi di ruang kelas. Mahasiswa harus memanfaatkan ekosistem yang ada di kampus untuk terus mengembangkan diri, mengasah soft skills melalui berbagai kegiatan di luar kelas, aktif berjejaring, hingga berbagai kegiatan di masyarakat untuk membangun kepekaan sosial.

Kabar baiknya, sejak 2025, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti-Saintek) telah meluncurkan program Kampus Berdampak, dengan salah satu inisiatif unggulan mereka magang berdampak. Program itu merupakan pengembangan dari magang merdeka dan dirancang untuk memberikan pengalaman kerja nyata selama satu semester, mengintegrasikan kontribusi sosial mahasiswa, memberikan konversi hingga 20 SKS, dan memberikan uang saku sebesar Rp 2,8 juta per bulan.

Beberapa perguruan tinggi di Indonesia telah menunjukkan komitmen kuat dalam pengembangan soft skills, misalnya Universitas Gadjah Mada (UGM) memiliki program Student Leadership Camp dan Community Empowerment yang mengasah kepemimpinan dan empati sosial mahasiswa. Institut Teknologi Bandung (ITB) mengintegrasikan project-based learning dan interdisciplinary collaboration dalam kurikulum.

Ada pula Universitas Indonesia (UI) yang menjalankan Career Development Center yang aktif memberikan pelatihan komunikasi, simulasi wawancara, dan personal branding. Universitas Brawijaya mengembangkan Entrepreneurship Camp dan Innovation Hub, serta program Mahasiswa Membangun Desa untuk menumbuhkan kesadaran sosial, jiwa wirausaha, dan kreativitas mahasiswa.

Kesadaran akan pentingnya soft skills itu menjadi landasan program beasiswa Teladan Tanoto Foundation yang saat ini kembali dibuka. Kami percaya beasiswa harus menjadi alat transformasi sosial, bukan sekadar bantuan finansial. Program Teladan yang telah berjalan sejak 2020 tidak hanya memberikan bantuan finansial, tetapi juga membekali mahasiswa dengan pelatihan kepemimpinan, pengembangan soft skills, dan persiapan karier.

Optimalisasi dan transformasi peran kampus akan menjadi titik krusial bagi perjalanan bangsa Indonesia ke depan. Dengan demikian, pilihannya apakah kampus sekadar menjadi pabrik pencetak sarjana atau menjadi katalis yang mampu memberdayakan mahasiswa hingga sukses meniti tangga kemakmuran dan mencetak pemimpin masa depan.

Pilihan kita tentu sudah jelas. Konsekuensinya, perlu peran aktif dan kolaborasi berbagai pihak untuk serius mendorong optimalisasi peran perguruan tinggi dan memberdayakan mahasiswa. Masa depan Indonesia ditentukan di ruang kelas dan di luar kelas. Mari ambil bagian, membantu perguruan tinggi dalam mencetak lulusan yang teladan dan berdampak.

Read Entire Article