
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menilai bahwa seluruh proses penyelidikan terkait kematian diplomat Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) harus diawali dengan rangkaian pemeriksaan ilmiah yang menyeluruh, termasuk visum dan analisis forensik.
“Semua tentu harus melalui Scientific Crime Investigation (SCI) yang komprehensif. Apakah lakban itu menjadi penyebab kematian atau justru ada faktor lain, itu harus dibuktikan lewat visum,” kata Bambang saat dihubungi, Minggu (13/7).
Menurutnya, hasil visum menjadi dasar awal bagi penyelidikan. Namun juga diperlukan pula dukungan dari forensik toksikologi, olah tempat kejadian perkara (TKP), identifikasi sidik jari, serta data forensik digital seperti CCTV dan rekam jejak komunikasi korban.
“Hasil visum adalah petunjuk awal. Tapi penyidikan harus diperkuat dengan bukti forensik lainnya, termasuk dari rekaman CCTV dan data digital yang bisa mengungkap siapa saja yang berada di sekitar korban sebelum meninggal,” jelasnya.
Dengan kemajuan teknologi yang dimiliki kepolisian saat ini, Bambang meyakini bahwa proses visum dan analisis forensik seharusnya tidak memakan waktu lama. Meski begitu, ia mengingatkan bahwa ketepatan hasil jauh lebih penting dibanding kecepatan semata.
“Waktu yang dibutuhkan bisa relatif. Publik memang menginginkan hasil yang cepat, tapi kepolisian tetap harus mengutamakan kecermatan agar hasilnya akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum,” tuturnya.
Diketahui, pihak kepolisian hingga saat ini belum menetapkan penyebab pasti kematian diplomat tersebut dan menyatakan proses penyelidikan masih terus berlangsung. (Fik/P-1)