Cinta seorang ibu terhadap anaknya tak pernah mengenal batas, terlebih ketika anak membutuhkan perhatian khusus. Hal itulah yang dirasakan Lani (41), seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang terdaftar sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari segmen Pekerja Penerima Upah Penyelenggara Negara (PPU PN).
Lani membagikan kisah perjuangannya mendampingi anak semata wayangnya yang didiagnosis mengidap down syndrome sejak bayi.
Anak Lani, yang kini berusia enam tahun, pertama kali menunjukkan gejala saat berumur enam bulan. Saat itu, ia mengalami kejang-kejang atau step yang membuat Lani dan keluarganya panik dan langsung membawanya ke Unit Gawat Darurat (UGD) Rumah Sakit Undata, Palu.
“Waktu itu anak saya masih bayi, tiba-tiba kejang dan langsung kami bawa ke RS Undata. Setelah diperiksa dan melalui serangkaian observasi, dokter menyampaikan bahwa anak saya mengidap down syndrome. Rasanya campur aduk, tapi saya tahu Saya harus kuat,” ungkap Lani.
Setelah mengalami kejang tersebut, anak Lani sempat dirawat selama satu minggu penuh di ICU RS Undata. Masa-masa itu menjadi momen paling menegangkan dalam hidupnya. Namun, dengan dukungan keluarga dan pelayanan kesehatan yang baik, anaknya berhasil melewati masa kritis.
Seiring waktu, Lani terus memantau perkembangan anaknya dan aktif berkonsultasi dengan dokter. Ia kemudian disarankan untuk memberikan terapi rutin, terutama terapi okupasi dan terapi wicara, yang dapat membantu anak-anak dengan down syndrome mengembangkan kemampuan beraktivitas dan berkomunikasi secara optimal.
“Mulai Desember 2024, anak saya mulai menjalani terapi di Klinik Manggala. Sebelumnya kami melalui prosedur pemeriksaan di Puskesmas Bulili, lalu dirujuk ke RS Undata, dan akhirnya ke Klinik Manggala. Semua proses ini bisa kami jalani berkat adanya JKN. Terapi dilakukan dua kali seminggu, setiap Rabu dan Sabtu,” jelasnya.
Terapi okupasi yang dijalani anak Lani bertujuan agar anaknya dapat lebih mandiri dalam aktivitas sehari-hari, seperti makan sendiri, mengenakan pakaian, atau melakukan gerakan motorik dasar. Sementara itu, terapi wicara ditujukan untuk membantu anaknya dalam mengembangkan kemampuan berkomunikasi, baik secara verbal maupun non verbal.
“Saya melihat perkembangan yang cukup signifikan. Dulu anak saya sulit sekali memahami instruksi sederhana, sekarang perlahan mulai bisa merespons dan menunjukkan ketertarikan terhadap lingkungan sekitar. Artikulasi bicaranya juga mulai membaik, meskipun masih terbatas,” ungkap Lani.
Down syndrome merupakan kelainan genetik yang menyebabkan penderitanya mengalami keterlambatan perkembangan dan gangguan kecerdasan. Gejalanya bisa dilihat dari ciri fisik seperti ukuran kepala kecil, mata yang miring ke atas, telinga kecil, dan kelainan bentuk tangan. Selain itu, anak dengan kondisi ini juga sering mengalami keterlambatan dalam berbicara, berjalan, hingga membaca dan berhitung.
Meskipun tidak bisa disembuhkan, anak dengan down syndrome tetap dapat tumbuh dan berkembang secara optimal jika mendapatkan intervensi dan terapi sejak dini. Inilah yang membuat Lani sangat bersyukur dengan keberadaan JKN, yang telah menjadi penyokong utama dalam proses terapi anaknya.
“Kalau tanpa BPJS Kesehatan, mungkin saya akan kesulitan untuk membiayai terapi rutin ini. Apalagi terapi okupasi dan wicara itu butuh waktu panjang dan konsistensi. Saya sangat berterima kasih karena semua bisa diakses dengan mudah dan gratis lewat program JKN," tambahnya.
Lani juga mengapresiasi kinerja para tenaga kesehatan yang menangani anaknya. Menurutnya,...