
Mulai bulan Februari hingga Agustus 2025, saya mengajar 12 putra-putri Papua penerima beasiswa dari pemerintah. Sembari menunggu diterima di kampus-kampus yang dituju, mereka meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris di bawah bimbingan saya dan rekan-rekan pengajar lainnya di kampus tempat kami bekerja.
Setiap hari, sebelum menyampaikan materi, saya sering memancing diskusi dengan mengaitkan topik pembahasan dengan pengalaman mereka di kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah tema mengenai peningkatan kualitas sekolah.
Kebetulan hari itu sedang marak berita mengenai dampak negatif dari Makan Bergizi Gratis (MBG) terhadap kesehatan pelajar. Muncul berita ada sekitar 1.300 anak yang keracunan setelah mengonsumsi MBG. Saya pun jadi penasaran dengan pelaksanaan MBG di Papua.
Pertanyaan mengenai pelaksanaan yang baik serta kebutuhan utama masyarakat di sana menjadi pemicu diskusi di kelas. Dari beragam jawaban yang diberikan, saya mendapati bahwa ternyata MBG hanya sebagian kecil saja hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah, khususnya di masyarakat Papua.
Dari dua belas putra-putri Papua yang saya ajar, mereka menilai setidaknya ada tiga isu utama, selain penerapan program MBG yang perlu diperhatikan: peningkatan kesehatan, kualitas pendidikan, dan sosialisasi yang tepat kepada masyarakat.

MBG Boleh Saja, Tapi Kondisi Kesehatan dan Pendidikan Juga Harus Ditingkatkan
Menurut murid-murid saya, MBG adalah program yang punya tujuan baik. Penerapannya juga sudah bisa diterima dengan positif oleh masyarakat Papua. Tapi akan lebih baik lagi jika gizi masyarakat dan setiap keluarga diperhatikan secara lebih menyeluruh.
MBG sebaiknya juga diikuti dengan program-program pencegahan dan penanggulangan stunting. Apalagi MBG saat ini sasarannya masih terbatas pada pelajar di sekolah dasar dan menengah saja. Jika para pelajar diberikan perhatian melalui MBG, namun malnutrisi masyarakat secara keseluruhan masih terabaikan, maka peningkatan gizi di Papua akan tetap timpang.
Selain gizi dan kesehatan, mereka juga menyoroti bidang pendidikan yang seharusnya juga ditingkatkan. Di Papua jumlah guru masih sangat sedikit, padahal pelajarnya banyak. Hal ini juga dibarengi dengan kapasitas guru yang perlu ditingkatkan agar bisa bersaing dengan provinsi-provinsi lain dalam mengajar. Belum lagi soal fasilitas yang kurang memadai dan gedung sekolah yang belum layak.
Masyarakat berhak mendapatkan dukungan dalam meningkatkan wasan mereka. Tapi dengan dengan fasilitas dan gedung yang tak memadai, akan sulit bagi masyarakat Papua meningkatkan kualitas hidup mereka dari segi pendidikan.
Salah satu murid saya menyebut, buku-buku yang terjangkau--dan bahkan gratis--juga sangat diperlukan, baik buku sekolah atau buku jenis lainnya. Buku-buku ini bisa diorganisir sebaik mungkin agar para pelajar di Papua bisa mengaksesnya dengan mudah, dan wawasan serta ilmu pengetahuan bisa dengan mudah diterima dan disebarluaskan.
Murid-murid saya ini juga ikut menyayangkan belum adanya pendidikan gratis di tanah kelahiran mereka itu. Kurangnya guru ditambah fasilitas yang masih belum memadai ini diperparah dengan kurangnya kemampuan masyarakat Papua--terutama yang berada di daerah terpencil--untuk membiayai sekolah anak-anak mereka.
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebenarnya pemerintah pusat dan daerah sudah mewajibkan agar sekolah negeri tak perlu memungut biaya pendidikan. Tapi rupanya implementasinya masih jauh dari yang diharapkan.
Pendidikan yang gratis, dari tingkat dasar, menengah, dan tinggi, adalah hal yang sangat diidam-idamkan oleh mereka. Keinginan ini berangkat dari harapan saya agar Papua bisa memajukan kualitas pendidikannya dan kemudian memberikan dampak positif bagi aspek hidup lainnya.

MBG Tanpa Peningkatan Program Kesehatan dan Sosialisasi yang Merata Akan Sia-Sia
Meski banyak yang "meminggirkan" program MBG dan memilih fokus meningkatkan kualitas kesehatan dan pendidikan di Papua, namun murid-murid saya memuji MBG sudah baik. Hanya saja, pelaksanaan dan pengawasannya tetap harus ditingkatkan.
Salah satu dari murid saya ini adalah seorang dokter umum. Menurutnya, MBG akan lebih baik jika dilebur atau disandingkan dengan program-program lain yang sudah berjalan sesuai kebutuhan masyarakat, misalnya saja makanan bergizi untuk ibu hamil yang sudah sukses diterapkan di beberapa klinik dan Posyandu.
Pelaksanaan MBG seharusnya menggunakan metode serupa atau bersamaan dengan program yang selaras agar lebih terjamin keberhasilannya. Sayangnya tak semua wilayah di Papua punya kualitas pelayanan kesehatan yang setara. Akibatnya belum ada contoh pelaksanaan program kesejahteraan kesehatan masyarakat yang baik dan merata untuk mendampingi pelaksanaan MBG yang tepat sasaran.
Peningkatan lain menurut murid-murid saya yang diperlukan dalam penyelenggaraan program pemerintah seperti MBG adalah sosialisasi untuk memperjelas tujuan program. Akibat kesejahteraan yang belum merata, sosialisasi MBG belum dianggap ideal. Masyarakat Papua perlu memahami bahwa program ini ditujukan bagi pelajar dan mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan dengan tujuan meningkatkan kondisi kesehatan para penerimanya. Sehingga sosialisasi dan penerapan MBG harus tepat dan tidak bisa selalu disamakan dengan provinsi-provinsi lainnya karena karakter setiap kelompok masyarakat tentu berbeda.
Timpangnya penyebaran wawasan tersebut menegaskan masih adanya keengganan para pembuat kebijakan dan pengambil keputusan untuk mencari tahu kebutuhan masyarakat luas, utamanya mereka yang tinggal di tanah papua.
Dialog dengan Masyarakat Papua Sebagai Solusi
Perlu diakui bahwa saya belajar banyak dari diskusi bersama 12 putra-putri Papua yang saya ajar selama 6 bulan. Tanpa sudut pandang langsung dari mereka, akan sulit dipahami bahwa MBG bukanlah peningkatan utama yang dibutuhkan di Papua. Perhatian akan peningkatan kondisi kesehatan, pendidikan, dan sosialisasi program yang tepat akan sulit diketahui oleh pemerintah jika tidak ada pendekatan yang dilakukan ke masyarakat Papua.
Selain itu, acuhnya petinggi-petinggi negara ini akan suara masyarakat turut memperburuk dan menghambat upaya dalam menyejahterakan mereka, utamanya yang tinggal di Papua.
Memang sulit membangun optimisme di kala mereka yang berkuasa di negara ini enggan untuk merendah demi kepentingan orang banyak. Sekadar membuka dialog dan menerapkan program-program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di Papua saja sulit sekali nampaknya. Jika menurut pemerintah MBG adalah isu yang sedang dianggap penting, maka masalah masyarakat lainnya tidak dianggap ada.
Harapan saya kini tergantung dari upaya kita menyuarakan kepentingan mereka dan masyarakat serta kelompok-kelompok marjinal lainnya. Selain itu, semoga prestasi putra-putri Papua tidak hanya menggaungkan kurangnya perhatian yang mereka dapatkan namun juga mampu menjadikan mereka sebagai kunci dan solusi yang lebih baik dari para petinggi negara ini dalam meningkatkan kualitas tanah kelahiran mereka sendiri.