Liputan6.com, Jakarta Ada setidaknya sembilan gejala gangguan cemas yang dapat timbul di masa-masa tak kondusif.
Menurut dokter spesialis kedokteran jiwa Lahargo Kembaren dari Rumah Sakit dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor mengatakan sembilan gejala gangguan cemas itu adalah:
- Khawatir, gelisah, panik
- Takut mati, takut kehilangan kontrol
- Jantung berdebar lebih kencang
- Napas sesak, pendek, berat
- Perut mual, kembung, diare
- Kepala pusing dan berat
- Kulit terasa gatal, kesemutan
- Otot-otot terasa tegang dan nyeri
- Gangguan tidur.
“Rasa cemas akan memberikan respons pada tubuh untuk cepat melakukan perlindungan untuk memastikan keamanan. Reaksi emosi cemas ini positif dan baik apabila dirasakan dan direspons sewajarnya,” kata Lahargo dalam keterangan tertulis dikutip pada Kamis (4/9/2025).
“Tetapi apabila direspons secara berlebihan atau reaktif akan menyebabkan suatu gangguan cemas (ansietas), yang ditandai dengan gejala-gejala (di atas),” tambahnya.
Lahargo tak memungkiri, keadaan Indonesia saat ini tidak sedang baik baik saja. Masyarakat banyak menyaksikan keadaan yang tidak diharapkan, mencemaskan, mengulang trauma di masa lalu.
“Tontonan di TV, media sosial dan media cetak sebagian besar adalah tentang hal yang tidak baik, menakutkan dan bikin rasa tidak nyaman. Situasi saat ini sangat wajar memunculkan rasa cemas yang dapat mengganggu kehidupan kita sehari-hari,” ujarnya.
Rasa cemas adalah reaksi emosi yang wajar yang disebabkan oleh suatu keadaan yang tidak diharapkan yang diasumsikan dapat menimbulkan bahaya.
Presiden Prabowo Subianto pada Senin petang menjenguk korban unjuk rasa yang sedang dirawat di RS Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur. Sebanyak 17 korban masih dirawat di Rumah Sakit Polri Kramat Jati yang terdiri dari 14 polisi dan 3 warga sipil.
2 Sikap Mental Hadapi Situasi Negara
Dalam situasi negara yang tak kondusif, ada dua sikap mental yang terjadi, yaitu:
Reaktif
Sikap mental yang ditandai dengan reaksi yang cepat, tegang, agresif terhadap keadaan yang terjadi dan menyebabkan kecemasan, kepanikan.
Responsif
Sikap mental yang ditandai dengan sikap tenang, terukur, mencari tahu apa yang harus dilakukan dan memberikan respons yang tepat dan wajar.
Ketika seseorang lebih memilih reaktif daripada responsif, maka kehidupan mentalnya akan terpengaruh dan dapat berujung pada gangguan cemas (ansietas).
Sementara, sikap mental responsif memiliki tahapan berikut:
- Breathe: Ambil waktu untuk berpikir apa yang akan dilakukan, yang bermanfaat dan tidak berlebihan.
- Assess: Cek fakta yang valid dari sumber terpercaya, hindari informasi yang salah, berlebihan, yang membuat kecemasan berlebihan.
- Action: Lakukan tindakan yang sesuai yang dianjurkan, tetap nilai risikonya dan tetap tenang.
- Reflect: Merefleksikan apa yang sudah dilakukan, menilai situasi terkini dan mempersiapkan respons berikutnya yang akan diambil.
Waspada tapi Tetap Tenang
Masyarakat takut dan cemas menghadapi situasi saat ini, sambung Rahargo, tapi takut dan cemas berlebihan akan menyebabkan kondisi mental terganggu.
“Tetap waspada tapi tetap tenang,” sarannya.
Guna menjaga kesehatan mental, maka sumber tekanan perlu diredam. Salah satu sumber tekanan adalah konsumsi media sosial secara berlebihan.
Lahargo memberi tips menghindari scrolling media sosial berlebihan agar kesehatan mental tetap terjaga, yakni:
Sadari pola dan pemicunya
Catat kapan mulai doomscrolling, misalnya saat malam sebelum tidur atau saat bosan. Kenali jenis konten yang memicu emosi (politik panas, gosip selebriti, berita bencana).
“Ingat, kesadaran adalah langkah pertama untuk memutus kebiasaan.”
Atur ‘pagar digital’
Batasi waktu main medsos menggunakan timer (misal 15–20 menit per sesi). Gunakan fitur mute, unfollow, atau block untuk akun yang bikin naik darah. Buat feed jadi sehat dengan follow akun edukatif, inspiratif, atau yang bikin senyum.
Cek Fakta Sebelum Bereaksi
Lahargo juga menyarankan pengguna sosmed untuk menerapkan aturan “cek fakta dulu, reaksi belakangan.”
“Jangan langsung terpancing judul clickbait—baca dulu, teliti sumbernya. Tunda komentar 10 detik, tarik napas. Emosi sering reda sebelum jempol bergerak. Ingat, tidak semua yang viral itu benar, dan tidak semua yang benar perlu kamu komentari,” kata Lahargo.
Buat Jeda Fisik
Letakkan ponsel jauh dari tempat tidur atau meja makan. Setiap kali muncul dorongan scroll, berdiri, ambil minum, atau peregangan sebentar. Pindahkan kebiasaan “scroll malam” jadi “baca buku ringan” atau dengar musik santai.
Isi Pikiran dengan Hal Positif
Cari berita baik (good news), bukan hanya berita buruk. Praktikkan rasa syukur harian—tulis tiga hal kecil yang menyenangkan setiap hari.
Lakukan aktivitas offline yang bikin hati senang: ngobrol dengan teman, berkebun, jalan santai.
Otak Butuh Damai
“Ingat: algoritma suka drama, tapi otakmu butuh damai. Platform digital dirancang untuk bikin kita betah (bahkan kalut). Jangan kasih makan algoritma dengan klik berlebihan pada konten provokatif. Kamu yang pegang kendali, bukan algoritma.”
Jika mengalami gangguan cemas (ansietas) segera konsultasikan ke profesional kesehatan jiwa terdekat seperti psikiater, perawat jiwa, psikolog, dokter umum terlatih, pekerja sosial dan konselor agar segera mendapat pertolongan.