Liputan6.com, Jakarta Survei Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) menunjukkan 74 persen perokok menyatakan akan berhenti merokok jika harganya naik jadi Rp 70.000 per bungkus.
Temuan ini memperkuat bukti bahwa kebijakan harga berperan penting dalam mengendalikan konsumsi tembakau dan melindungi generasi muda dari risiko adiksi sejak dini.
Hasil survei ini disampaikan PKJS-UI di momen peringatan satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran. Selain PKJS-UI, Komunitas Save Our Surrounding (SOS) mengirimkan sejumlah karangan bunga ke kediaman Presiden Prabowo Subianto di Kertanegara pada Selasa (21/10).
Aksi ini bukan hanya ucapan selamat, melainkan kritik atas murahnya harga rokok dan mandeknya implementasi kebijakan pengendalian tembakau dalam PP 28 Tahun 2024.
Tulisan pada karangan bunga seperti “Sembako makin mahal, rokok makin murah” dan “Rakyat butuh gizi, bukan rokok” menyuarakan tuntutan agar pemerintah menegakkan kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan kebijakan pengendalian konsumsi lainnya yang berpihak pada kesehatan rakyat.
Ketua PKJS-UI, Aryana Satrya menyebut karangan bunga ini sebagai sindiran atas mandeknya sejumlah kebijakan pengendalian tembakau seperti tidak naiknya cukai rokok dan terhambatnya implementasi Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan karena aturan teknisnya yang tidak kunjung disahkan.
“Dari sisi fiskal kami menyoroti harga rokok yang murah baik legal maupun ilegal, membuat perokok tidak dapat mengerem candu rokoknya. Itu membuat banyak keluarga kehilangan penghasilan untuk kebutuhan dasar seperti makan dan pendidikan,” kata Aryana dalam keterangan tertulis, Selasa (21/10/2025).
“Maka, harusnya bukan saja rokok ilegal yang diberantas, tetapi juga rokok legal harusnya dibuat semahal mungkin, sehingga perokok jadi membatasi rokoknya, syukur kalau bisa sadar dan berhenti merokok. Dan gunakan uangnya untuk membeli makan bergizi atau kebutuhan dasar lainnya” ujarnya.
Jumlah Perokok Anak di Indonesia Capai 5,9 Juta Lebih
Menurut Survei Kesehatan Indonesia 2023, jumlah perokok anak di Indonesia mencapai lebih dari 5,9 juta jiwa.
Rendahnya harga rokok menjadi salah satu faktor utama tingginya konsumsi sejak dini. Riset CISDI 2023 menemukan bahwa remaja masih bisa membeli rokok di kios-kios dekat sekolah dengan harga yang sangat terjangkau.
Kebiasaan membeli rokok secara berulang membuat remaja akhirnya mengeluarkan uang antara Rp30.000 hingga Rp200.000 setiap minggu yang setara dengan separuh pengeluaran per kapita mingguan rata-rata penduduk Indonesia (CISDI, 2023).
Promosi Rokok di Berbagai Acara
Aryana menilai, satu tahun pemerintahan seharusnya menjadi momentum untuk meninjau ulang arah kebijakan publik. Termasuk menerapkan aturan turunan dari PP 28 Tahun 2024. Peraturan Pemerintah ini melarang iklan, promosi, sponsor, dan penjualan rokok eceran, tetapi lebih dari setahun sejak disahkan, implementasinya belum terlihat.
Rokok masih dibanjiri promosi melalui acara musik, olahraga, dan kolaborasi kreatif dengan figur publik, sementara di media sosial, pemasaran terselubung menormalisasi konsumsi rokok di kalangan remaja. Di lapangan, penjualan rokok batangan tetap marak, bahkan di sekitar sekolah.
“Tanpa pengawasan tegas dan keberanian menindak pelanggaran, PP 28 hanya menjadi simbol kosong yang gagal melindungi generasi muda dan keluarga pra-sejahtera,” ujar Aryana.
Secara tidak langsung, Aryana menilai, kondisi ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal maupun non-fiskal untuk pengendalian konsumsi rokok di Indonesia masih belum berjalan dan tidak dianggap serius oleh pemerintahan.
Pemerintah Miliki Peluang untuk Membalikkan Arah
Upaya masyarakat sipil untuk menyuarakan hal ini sebenarnya bukan hal baru. Berbagai organisasi masyarakat sipil dan organisasi profesi kesehatan telah lebih dulu mengirimkan surat-surat permohonan perhatian kepada Presiden Republik Indonesia. Mereka menyerukan agar pemerintah konsisten melanjutkan langkah-langkah pengendalian tembakau.
Surat-surat tersebut menegaskan pentingnya kebijakan cukai yang berpihak pada kesehatan publik dan perlindungan SDM generasi muda. Namun, hingga kini, tidak ada satu pun tanggapan yang diterima.
Aksi pengiriman karangan bunga hari ini menjadi lanjutan dari suara yang diabaikan itu, tapi sayangnya sekitar tiga puluh karangan bunga yang dikirim ke kediaman presiden sebagai simbol keprihatinan justru diturunkan hanya beberapa jam setelah tiba.
“Respons yang ironis, mengingat pemerintah tampak lebih terganggu oleh pesan di atas papan bunga dibanding oleh fakta bahwa jutaan anak masih bisa membeli rokok di depan sekolah tanpa pengawasan.”
Perwakilan komunitas SOS, Tulus Abadi, menegaskan bahwa Pemerintah memiliki peluang penting untuk membalikkan arah.
“Presiden Prabowo memiliki kesempatan besar untuk memperbaiki arah ini dengan memastikan tidak ada konflik kepentingan dalam kabinetnya, terutama di antara lembaga yang seharusnya melindungi rakyat, bukan melayani industri.”
“Langkah Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan yang justru tunduk pada tekanan industri hanya memperdalam kekecewaan publik. Pemerintah semestinya menjadikan tahun kedua masa jabatan ini sebagai titik balik, yakni dengan menegakkan keberanian politik untuk menempatkan kesehatan di atas kepentingan ekonomi jangka pendek,” ucap Tulus.