PENELITI dari Saiful Mujani Research Center (SMRC) Saidiman Ahmad menentang rencana Dewan Perwakilan Rakyat untuk menghapus pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung dan mengembalikan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk memilih kepala daerah. Ia berpendapat, argumen biaya mahal untuk menghapus pilkada langsung sangat tidak masuk akal.
Ia mengatakan biaya yang digelontorkan oleh negara untuk menggelar pilkada langsung sudah sebanding dengan manfaat yang dihasilkan. Saidiman menyebutkan, anggaran sebesar Rp 37 triliun untuk menggelar pilkada serentak 2024 memang sangat besar secara nominal. Tapi urusan anggaran bukan menjadi alasan yang tetap untuk mengembalikan pilkada lewat DPRD.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jika melihat konsekuensi yang akan ditimbulkan kalau pilkada langsung tidak terjadi, definisi mengenai mahal tidaknya anggaran mungkin menjadi berbeda,” kata Saidiman, di kanal YouTube resmi SMRC, dikutip pada Ahad, 10 Agustus 2025.
Ia melanjutkan, dalam pilkada langsung, publik ikut terlibat dalam memilih pemimpinnya. Artinya, masyarakat ikut serta mengawasi penyelenggaraan pemerintahan di daerah sejak dari proses pemilihan kepala daerah.
“Kontrol publik ini secara logis atau rasionalnya membuat pemerintahan daerah menjadi lebih akuntabel, transparan, dan menjadi lebih bertanggung jawab kepada publik,” ujar Saidiman.
Dia menekankan, esensi utama pemerintahan adalah melayani publik. Sehingga publik perlu terlibat secara langsung untuk mengontrol jalannya pemerintahan, mulai dari proses pemilihan kepala daerah hingga pelaksanaan program kerja kepala daerah terpilih.
“Saya merasa bahwa uang Rp 37 triliun yang dikeluarkan oleh negara sepadan dengan manfaat yang didapat dari pilkada langsung," kata Saidiman. “Mungkin akan jauh lebih rugi kalau publik tidak terlibat dalam mengontrol pemerintahan.”
Ia khawatir kepala daerah yang dipilih lewat DPRD tidak dapat menjalankan pemerintahan yang sesuai dengan keinginan publik. Sebab kepala daerah itu ditunjuk oleh elite partai politik lewat orang-orangnya di DPRD. Sehingga kepala daerah yang terpilih itu akan menjalankan keinginan elite, terutama elite di pusat.
Pilkada lewat DPRD digelindingkan oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar dan Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia. Muhaimin mengungkap keinginan partainya itu saat peringatan Hari Lahir PKB di Jakarta International Convention Center, Jakarta, pada 23 Juli 2025.
Muhaimin mengusulkan kepala daerah tidak lagi dipilih melalui pemilihan langsung seperti saat ini. Alasannya, biaya pilkada langsung sangat mahal dan menyisakan beban politik. “Kami ingin demokrasi kita lebih murah,” kata Muhiamin saat ditemui di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, pada 30 Juli 2025.
Adapun Bahlil mengklaim partainya lebih dulu menggelindingkan rencana pilkada lewat DPRD itu. "Bukan ide saya yang sama dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, (tapi) Golkar sudah bicara soal itu lebih dulu sejak HUT Golkar," kata Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, pada Senin, 28 Juli 2025.
Saat perayaan HUT Golkar pada 12 Desember 2024, Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya mewacanakan pilkada lewat DPRD dengan alasan biaya pilkada langsung sangat mahal. “Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien. Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, ya, sudah DPRD itu milih gubernur dan bupati. Efisien, enggak keluar duit kayak kita,” kata Prabowo.
Keinginan DPR untuk menghidupkan pilkada lewat DPRD semakin menguat setelah putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan pemilu naional dan pemilu daerah, Juni lalu. Pemilu nasional meliputi pemilihan presiden serta anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah. Lalu pemilu daerah meliputi pilkada dan pemilihan anggota DPRD. Mahkamah memerintahkan pemilu daerah digelar paling lambat 2 tahun 6 bulan setelah pemilu nasional tuntas.
Dosen hukum tata negara Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan pilkada lewat DPRD sudah tutup buku setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan pemilu daerah. Ia mengatakan konsekuensi dari putusan Mahkamah tersebut adalah kepala daerah harus dipilih oleh rakyat secara langsung.
Eka Yudha Saputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Celah Pilkada Tak Langsung setelah Pemisahan Pemilu