Liputan6.com, Jakarta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) angkat bicara soal temuan etilen oksida (EtO) dalam produk mi instan asal Indonesia di Taiwan.
“Ini masih proses ya, tapi kami sudah koordinasi dengan industri dan sedang penelusuran,” kata Humas BPOM, Eka Rosmalasari kepada Health Liputan6.com melalui pesan singkat, Jumat (12/9/2025) siang.
BPOM pun meminta untuk menunggu hasil penelusuran. "Nanti, kami update," lanjut Eka.
Baru-baru ini, Food and Drugs Administration (FDA) Taiwan melaporkan adanya kandungan etilen oksida dalam produk mi instan kenamaan asal Indonesia.
“Otoritas Taiwan melaporkan bahwa satu batch produk Indomie (Indomie Mi Instan Rasa Soto Banjar Limau Kuit) yang berasal dari Indonesia mengandung residu pestisida, etilen oksida, pada tingkat yang tidak memenuhi standar Taiwan,” seperti dikutip dari laman Centre for Food Safety (CFS) Hong Kong, Jumat (12/9/2025).
Health Liputan6.com telah mencoba menghubungi pihak produsen mi tersebut, yakni Indofood. Sayangnya, hingga Jumat 12 September 2025 sore belum memberi respons.
Temuan etilen oksida dalam produk mi instan oleh otoritas Taiwan bukanlah hal baru. Pada 2023, Taiwan juga mendapati adanya kandungan etilen oksida dalam produk mi instan Malaysia.
Saat itu, Otoritas Kesehatan Kota Taipei melaporkan keberadaan etilen oksida (EtO) pada bumbu produk mi instan sebesar 0,187 mg/kg (ppm).
Kata Pakar Soal Etilen Oksida
Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Dr Zullies Ikawati sempat menjelaskan terkait etilen oksida.
Menurutnya, sejauh ini memang ada perbedaan regulasi antara Indonesia dan Taiwan terkait etilen oksida.
"Taiwan memang tidak memperbolehkan EtO sama sekali pada pangan. Metode analisis yang digunakan oleh Taiwan adalah metode penentuan 2-Chloro Ethanol (2-CE), yang hasil ujinya dikonversi sebagai EtO," kata Zullies melalui keterangan pada Health Liputan6.com beberapa waktu lalu.
"Oleh karena itu, kadar EtO sebesar 0,187 ppm setara dengan kadar 2-CE sebesar 0,34 ppm," dia menambahkan.
Zullies menambahkan, aturan etilen oksida di Indonesia berbeda dengan Taiwan.
Mengacu pada Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 229 Tahun 2022 tentang Pedoman Mitigasi Risiko Kesehatan Senyawa Etilen Oksida, Batas Maksimal Residu (BMR) 2-CE di Indonesia sebesar 85 ppm atau sekitar 85 mg/kg.
Mengapa Makanan Bisa Terpapar Etilen Oksida?
Lebih lanjut Zullies mengungkapkan bahwa etilen oksida bukanlah senyawa yang boleh ditambahkan dalam produk makanan. Namun, etilen oksida dapat dijumpai sebagai residu atau bahan tersisa dalam jumlah kecil.
"Terutama jika proses desinfeksi yang dilakukan pada ruangan penyimpanan atau pembuatan produk menggunakan gas etilen oksida. Dengan demikian, paparan melalui residu makanan sebenarnya sangat kecil sekali, apalagi EtO merupakan gas yang mudah menguap," kata Zullies.
Di sisi lain, orang bisa terpapar etilen oksida karena beberapa hal, menurut Zullies. Seperti saat seseorang bekerja di pabrik yang menggunakan etilen oksida untuk membuat senyawa pelarut, antibeku, tekstil, deterjen, perekat, atau busa poliuretan.
"Atau pekerja pabrik di industri kimia yang membuat etilen oksida, atau pekerja pertanian yang menggunakan EtO untuk mengendalikan serangga di tempat penyimpanan bahan hasil pertanian, atau juga petugas sterilisasi di rumah sakit yang menggunakan gas EtO sebagai agen pensterilisasi," dia menambahkan.
Zullies mengatakan bahwa EtO pada mi instan mudah hilang setelah proses masak.
"Untuk masyarakat sendiri, jangan terlalu khawatir terkait isu ini. Lah, EtO dalam mi instan itu kalau sudah dimasak juga sudah menguap," ujar Zullies.
"Karena ia (etilen oksida) adalah gas mudah menguap. Jumlahnya pun sangat kecil untuk sampai terhirup dan menimbulkan efek berbahaya," sambungnya.
Sebagai bentuk antisipasi, memasak mi instan juga tidak perlu dihirup. Cukup ditelan saja jika memang khawatir akan terpapar oleh etilen oksida yang menguap.
"Ya, buat jaga-jaga, kalau masak mi instan gak usah dihirup-hirup ya. Ditelan saja," kata Zullies.