Punya Anak Bukan Sekadar Ikuti Standar, Gen Z Pertimbangkan Kesiapan Mental dan Finansial

8 hours ago 1
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online

Liputan6.com, Jakarta Punya anak kerap dianggap tujuan utama setelah menikah. Namun, berdasarkan hasil wawancara Health Liputan6.com dengan sejumlah Gen Z, keputusan ini dipandang lebih kompleks.

Gen Z tak lagi terikat pada standar sosial semata, melainkan memikirkan kebutuhan yang ingin diberikan kepada generasi selanjutnya.

Salah satu Gen Z yang ditanya adalah Aji (22), mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri di Semarang, Jawa tengah itu menjelaskan bahwa memiliki anak tetap penting sebagai simbol keluarga.

“Karena standar realisasi keluarga itu mempunyai anak. Dan yang namanya keluarga itu kan pasti ada ayah, ibu, dan anak. Mau berapa pun anaknya, itu juga tergantung dari finansial ekonomi keluarganya,” katanya.

Hal senada disampaikan Ghita (21) asal Depok, Jawa Barat. Baginya, anak bukan sekadar penerus keturunan, tetapi juga teman hidup. “Apalagi gue suka kesepian. Jadi menurut gue, teman seorang ibu juga bisa jadi anaknya,” ujarnya.

Banyak Anak Banyak Rezeki, Benarkah?

Bagi Gen Z, kesiapan finansial menjadi faktor krusial dalam memutuskan memiliki anak. Aji menilai pola pikir “banyak anak banyak rezeki” sudah tak relevan. Ia menjelaskan, pandangan tersebut muncul di masa lalu ketika banyak anak dianggap membantu pekerjaan orang tua.

“Saya pernah nonton salah satu podcast. Waktu dulu itu mayoritas keluarga yang menganut pemikiran tersebut adalah petani. Banyak anak berarti ada yang ikut menanam, panen, atau jualan. Kalau diadopsi untuk zaman sekarang, kurang setuju sih,” katanya.

Ghita juga mengungkapkan hal serupa. Ia ingin memastikan anaknya tumbuh tanpa harus merasakan kesulitan finansial seperti yang ia alami.

“Ya harus finansial dulu lah. Karena ya nggak bener tuh... gue nggak mau anak gue juga merasakan itu,” ujarnya.

Dilansir dari Pearl, Gen Z yang lahir antara 1997-2012 cenderung menunda untuk memiliki anak. Sekitar 39 persen Gen Z mengaku telah menunda memiliki anak karena kondisi ekonomi saat ini. Pandangan ini mencerminkan pergeseran nilai dari generasi sebelumnya yang cenderung menormalkan tantangan finansial sebagai bagian dari hidup berkeluarga.

Sikap terhadap Tren Childfree

Tren childfree semakin populer tapi mayoritas narasumber tetap menginginkan punya anak. Mereka menilai keputusan untuk tidak memiliki anak adalah hak setiap individu, namun mereka tetap ingin membangun keluarga dengan anak.

“Setiap individu kan punya hak sendiri untuk memutuskan mau punya anak atau nggak. Jadi saya nggak terganggu. Tapi saya pribadi bukan tim childfree,” kata Aji.

Ghita mengaku awalnya asing dengan konsep childfree. Meski menghargai pilihan orang lain, ia tetap berpegang pada keinginannya untuk memiliki anak.

“Menurut gue semua orang tuh pasti pengen punya anak. Cuma banyak faktor kali ya sampai dia memutuskan untuk childfree. Tapi gue yakin kalau mereka dikasih anak, pasti akan senang,” tuturnya.

Sementara itu, Zahra yang sempat setuju untuk childfree pun berubah pikiran.  “Kalau misalnya menikah nanti sempat kepikiran buat childfree. Tapi semakin ke sini semakin berpikir-pikir lagi kayaknya nggak deh karena kita butuh untuk melahirkan generasi-generasi emas,” katanya.

Mengutip omongan profesor populasi dan kesehatan keluarga di Columbia School of Public Health, Thoai Ngo menambahkan, Gen Z memprioritaskan pertumbuhan diri dan pengembangan karier sebelum memulai keluarga.

“Mereka tumbuh di dunia yang dibentuk oleh krisis iklim dan ketidakstabilan ekonomi. Ini lah alasan utama mengapa sebagian Gen Z juga masih bertahan dengan konsep childfree,” ujarnya.

Pola Asuh yang Lebih Seimbang

Pandangan Gen Z soal pola asuh juga menarik. Mereka berusaha mencari keseimbangan antara ketegasan dan kelembutan. Ghita menekankan pentingnya peran kedua orang tua dalam mendidik anak.

“Kerasnya sama gue, lembutnya dari bapaknya. Jadi nggak sama-sama dar-der.-dor At least kalau dimarahin juga masih bisa mikir, nggak cuma tertekan,” ujarnya.

Ia juga percaya bahwa pendidikan dan adab adalah fondasi utama bagi anak.

“Ibu itu sekolah pertama anak. Nomor satu itu pasti adab. Pesan-pesan kecil kayak ‘Jangan masuk rumah orang tanpa permisi’, ‘jangan minta-minta’ itu sampai sekarang masih kepake,” lanjutnya.

Zahra yang kini berusia 21 tahun asal Padang, Sumatera Barat juga mendukung konsep parenting yang seimbang.

“Kalau anak salah, harus tetap tegas dan tega menegur. Banyak kasus sekarang di mana anak dibiarkan berbuat salah dengan alasan ‘masih kecil,’ padahal seharusnya dari kecil justru diajarkan mana yang benar,” katanya.

Gen Z tentang Tantangan Orangtua Saat Memiliki Anak

Salah satu tantangan terbesar orangtua saat memiliki anak adalah beban trauma masa lalu yang belum terselesaikan. Zahra menilai hal ini menjadi hambatan besar dalam pola asuh.

“Tantangan terbesar orangtua saat punya anak adalah ketika mereka masih membawa trauma masa lalu dan menumpahkannya ke anak. Sebenarnya, itu tanda kalau kita belum siap menjadi orangtua karena belum selesai dengan diri sendiri,” ujarnya.

Dilansir dari Psychology Today, trauma yang dialami oleh orang tua pada masa kanak-kanak memiliki dampak jangka panjang. Trauma tersebut dapat memengaruhi interaksi normal antara ibu dan anaknya.

"Menurut gue begitu. Kalau zaman dulu, para ibu lebih sering memarahi anak-anaknya, jadi wajar kalau anak-anak dulu cenderung lebih takut dan trauma sampai dewasa," kata Ghita.

...
Read Entire Article