Liputan6.com, Jakarta - Penyakit radang usus atau Inflammatory Bowel Disease (IBD) kerap kali sulit dibedakan dari diare biasa. Padahal, keduanya memiliki implikasi kesehatan yang berbeda jauh.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Gastroentero-Hepatologi lulusan Universitas Indonesia, dr. Amanda Pitarini Utari, Sp.PD-KGEH, menegaskan pentingnya kewaspadaan masyarakat agar tidak mengabaikan gejala yang mungkin mengarah pada penyakit ini.
Amanda menjelaskan bahwa tata laksana IBD tidak bisa disamakan dengan gangguan pencernaan ringan. "Pada dasarnya penyakit ini memiliki tingkat kesulitan yang beragam sehingga diperlukan kerja sama multidisiplin," kata Amanda seperti dikutip dari Antara pada Minggu, 14 September 2025.
Menurut Amanda, pengobatan IBD umumnya melibatkan terapi obat baik berupa tablet maupun injeksi. Pada kondisi tertentu, pasien mungkin membutuhkan tindakan pembedahan atau kombinasi obat dengan operasi.
"Beberapa jenis vaksinasi juga dapat direkomendasikan bagi pasien IBD sebagai bentuk pencegahan infeksi. IBD yang kronis mungkin memerlukan pembedahan untuk mengangkat bagian saluran pencernaan yang rusak," ujarnya.
Faktor Risiko IBD
IBD termasuk penyakit autoimun yang menyerang sistem pencernaan, terutama usus kecil dan besar. Kondisi ini dipengaruhi faktor genetik, lingkungan, dan gaya hidup.
Amanda, menyebutkan, risiko seseorang terkena IBD akan meningkat bila ada riwayat keluarga. "Faktor risiko genetik memang kuat, ada studi menunjukkan bahwa lima s.d 20 persen orang dengan IBD memiliki salah satu anggota keluarga tingkat pertama yang juga mengidap penyakit ini," kata dokter yang praktik di RS Abdi Waluyo itu.
Selain faktor keturunan, pola makan dan gaya hidup juga memegang peran penting. Asupan serat rendah, konsumsi makanan olahan, hingga kurang olahraga bisa meningkatkan risiko radang usus.
"Pencegahan dini ini memang bukan jaminan absolut, tetapi kombinasi strategi seperti memperbanyak serat, buah, sayur, whole grains, mengurangi ultra processed food, dan rutin berolahraga memberi harapan untuk menunda atau menurunkan risiko munculnya IBD," tambah Amanda.
Komplikasi Serius Bila Tidak Ditangani
IBD bukan sekadar masalah pencernaan biasa. Jika tidak ditangani secara tepat, komplikasi yang muncul bisa mengancam nyawa.
Hal ini ditegaskan oleh Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Gastroentero-Hepatologi, dr. Indra Marki, Sp.PD, KGEH, FINASIM. "Pasien dapat menghadapi berbagai komplikasi yang tentunya berbahaya," kata Indra.
Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi antara lain meningkatnya risiko kanker kolon, terbentuknya polip kolon, penyempitan usus besar (striktur kolon) yang menyebabkan sembelit dan sakit perut, hingga kondisi berbahaya seperti toxic megacolon dan fistula ani.
Lebih jauh, Indra menekankan bahwa komplikasi tidak hanya terjadi di saluran cerna.
"IBD juga bisa menyebabkan manifestasi ekstraintestinal, seperti sariawan kronis, plak dan luka pada kulit, gangguan sendi, radang selaput mata, hingga radang pembuluh darah," tambahnya.
Tantangan Diagnosis dan Pentingnya Deteksi Dini
Meski serius, IBD sering kali tidak terdeteksi sejak dini. Dokter Spesialis Penyakit Dalam lulusan Universitas Indonesia, dr. Paulus Simadibrata, Sp.PD menekankan bahwa salah satu tantangan terbesar adalah sulitnya membedakan diare biasa dengan diare akibat radang usus.
"Penyakit radang usus ditandai dengan episode peradangan saluran cerna berulang yang disebabkan oleh respons imun abnormal terhadap mikroflora usus," kata Paulus.
Dia menambahkan bahwa IBD umumnya didiagnosis pada usia dewasa muda dan dapat berdampak pada produktivitas kerja. Oleh karena itu, masyarakat perlu lebih waspada terhadap gejala berulang seperti diare yang tak kunjung membaik, sakit perut kronis, atau penurunan berat badan tanpa sebab jelas.
Dengan berbagai risiko komplikasi yang membayangi, deteksi dini menjadi kunci dalam tata laksana IBD. Indra Marki mengingatkan agar masyarakat tidak menunda pemeriksaan medis.
"Dengan keluhan awal IBD mungkin tampak ringan, namun tanpa penanganan yang konsisten, komplikasi-komplikasi tadi dapat berkembang progresif dan berpotensi mengancam nyawa," tambahnya.
Masyarakat diimbau untuk segera berkonsultasi ke tenaga medis bila mengalami gejala pencernaan yang berulang dan tidak membaik dengan pengobatan umum.