Liputan6.com, Jakarta Pernikahan adalah perjalanan panjang dan penuh rintangan di setiap prosesnya. Meskipun pada awalnya diawali dengan cinta dan komitmen, faktanya pernikahan kerap penuh tantangan.
Dinamika rumah tangga rumit dan penuh tantangan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya bisa datang. Tidak jarang pasangan memendam konflik, terus dibiarkan hingga bisa mengarah ke perceraian.
Sebetulnya memiliki sebuah konflik adalah suatu hal yang normal, karena setiap manusia tentu memiliki pandangan dan pemikiran yang berbeda. Dalam pernikahan, penting untuk tetap menjaga komunikasi, agar koneksi dengan pasangan tetap terjalin.
Dilansir dari Brides, Jocylynn Stephenson, MS, LCMFT, seorang terapis perkawinan dan keluarga berlisensi mengatakan, bahwa masalah pernikahan harus dihadapi bersama. “Anda tidak bisa menyelesaikan masalah berdua secara sendirian,” kata Stephenson.
Berikut, 10 masalah dalam rumah tangga yang kerap terjadi dalam pernikahan yang bisa memicu perceraian, yaitu:
1. Masalah Komunikasi
Dr. Tamika Torres, seorang psikolog dan pelatih bisnis mengatakan, masalah komunikasi pada pasangan suami-istri dapat mengantar pada beberapa masalah dalam hubungan.
“Ini bisa menyebabkan perasaan kesepian, frustasi, ketidakpuasan dengan pernikahan,” kata Torres
Torres menyebut, komunikasi adalah kunci untuk hubungan yang kokoh, masalah komunikasi dapat mengarah pada kesalahpahaman yang dapat memicu konflik dan kebencian.
Jika masalah komunikasi terus berlanjut ini akan menyebabkan keintiman emosional berkurang, hal ini dapat membuat masalah kecil menjadi besar.
“Yang mungkin terjadi, pasangan kesulitan untuk mengekspresikan kebutuhan mereka, perasaan, hasrat, yang menyebabkan rasa keterputusan emosional,” jelas Torres.
2. Tidak Peduli dengan Kepentingan Pasangan
Ketika membiarkan pasangan mengejar apa yang menjadi minatnya, di sisi lain tidak ingin membebankan pasangan dengan hobi dan minat pribadi. Sikap seperti ini bisa membuat adanya sekat dalam hubungan.
Situasi ini dapat membuat terputusnya hubungan emosional dengan pasangan. Alih-alih membangum kehidupan bersama pasangan, justru menjalani hidup yang benar-benar sejajar.
“Kalau kita memberi terlalu banyak ruang untuk individualitas, kita akhirnya hidup dalam masing-masing,” kata Stephenson.
3. Kebiasaan Belanja yang Berbeda
Perekonomian merupakan salah satu sumber konflik terbesar dalam pernikahan, terutama terkait cara menggunakannya. Ketika satu pihak cenderung hemat dan pihak lain lebih suka menghabiskan, akhirnya konflik tidak dapat dihindarkan.
Perbedaan gaya finansial bukanlah akhir dari segalanya, Stephenson mengatakan, langkah awal yang perlu dilakukan adalah memahami alasan masing-masing pihak. Memahami apa arti belanja bagi masing-masing pihak dan cara mengelola uang.
4. Sikap Berbeda tentang Media Sosial
Perselisihan terkait media sosial juga kerap terjadi pada pasangan menikah. Sebagian pasangan meributkan terkait dengan informasi yang dibagikan, sebagian lainnya meributkan waktu yang dihabiskan dalam bermedia sosial.
Menurut Torres, masalah umum yang muncul dari pasangan menikah adalah oversharing di media sosial dan ketidakhadiran emosional, isu ini sering terjadi pada pasangan berusia 20 hingga 40-an.
Ketika dinamika keluarga terlalu banyak diumbar ke publik, rasa tidak nyaman, cemas, bahkan merasa dikhianati bisa muncul.
“Pasangan bisa merasa tertekan untuk menampilkan citra hubungan yang sempurna secara online, padahal belum tentu mencerminkan kenyataan,” kata Torres.
5. Kehilangan Sinkronisasi dalam Keintiman
Dalam urusan seks, masalah paling umum yang ditemui dalam pernikahan adalah perbedaan tingkat dan jenis hasrat, serta pasangan yang enggan untuk membicarakan hal tersebut secara terbuka.
Keengganan untuk berdiskusi ini membuat persoalan ini sering dibiarkan berlarut-larut, komunikasi terbuka adalah langkah penting untuk menjaga pernikahan.
“Ada banyak rasa malu, penilaian soal performa, dan tekanan untuk menjadi atau melakukan segala macam hal, sehingga kita tidak membicarakannya secara eksplisit,” ujar Stephenson.
6. Cemburu Emosional
Rasa cemburu dalam pernikahan sering kali bukan karena perselingkungan fisik, melainkan karena kedekatan emosional pasangan dengan orang lain.
“Pasangan biasanya cemburu karena kedekatan emosional yang dirasakan pasangannya dengan orang lain. Ini lebih soal hal-hal emosional,” kata Stephenson.
Tumbuh dengan Arah Berbeda
Perubahan adalah hal yang tidak dapat dihindari, dalam hubungan jangka panjang. Seiring berjalannya waktu, pasangan bisa berkembang ke arah yang berbeda, hal ini yang kerap memunculkan pertanyaan terkait kecocokan.
“Secara umum, pasangan ingin bahagia dan stabil secara emosional, dan mereka ingin suatu saat berhenti bekerja,” kata Stephenson.
“Itu tujuan besar yang sama, sisanya hanya detail-detail kecil,” tambahnya.
8. Pandangan Parenting yang Berbeda
Memiliki anak mungkin jadi kesepakatan bersama, namun pendekatan dalam membesarkan anak sering kali menjadi sumber konflik yang serius dalam pernikahan.
“Perbedaan pandangan, nilai, atau cara mendidik bisa menimbulkan pertengkaran dan ketegangan dalam hubungan; salah satu pasangan bisa merasa tidak didukung,” ujar Torres.
“Ini bukan hanya membingungkan bagi anak, tapi juga melemahkan otoritas orang tua,” tambahnya.
9. Bosan
Rasa bosan bisa menjadi pembunuh diam-diam dalam sebuah hubungan. Tidak selalu harus ada konflik besar, tapi perasaan hambar dan kehilangan makna sering kali muncul tanpa disadar.
Ketika rasa antusiasme telah mulai pudar, pasangan bisa lupa apa yang dulu membuat hubungan terasa istimewa. Jika dibiarkan, kebosanan ini perlahan bisa menggerus ikatan dan kedekatan dalam pernikahan.
10. Keterampilan Menyelesaikan Konflik
Pertengkaran adalah hal normal dalam kehidupan pernikahan. Namun, jika konflik terus berulang tanpa ada penyelesaian, itu bisa menjadi tanda adanya masalah dalam cara menyelesaikan konflik.
“Ketika pasangan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan konflik, itu bisa membebani hubungan. Salah satu masalah umum adalah komunikasi yang rusak, di mana pasnagan kesulitan menyampaikan perasaan dan kebutuhan mereka,” kata Torres.
Akibat dari kesalahpahaman ini akhirnya emosi terpendam dan empati berkurang. Yang terjadi adalah konflik terus terjadi berubah menjadi siklus saling menyalahkan dan defensif.
“Bukan lagi usaha bersama untuk mencari jalan keluar,” tambah Torres.