Liputan6.com, Jakarta - Sebuah kehormatan kembali saya rasakan di akhir tahun 2025 ini. Setelah terakhir di Rotterdam tahun 2019, saya kembali mendapat kepercayaan untuk berdiri di panggung European Academy of Psychosomatic Medicine (EAPM) Annual Congress di Munich, Jerman, pada 11 s.d 13 September lalu.
Namun, yang membuat momen ini begitu spesial adalah kesempatan untuk mempresentasikan sebuah karya yang lahir dari perjalanan panjang 17 tahun karier saya di psikiatri, dengan fokus pada psikosomatik dan gangguan cemas yang telah saya tekuni secara mendalam sejak 2010.
Lebih dari Sekadar 'Sakit karena Stres'
Dalam praktik klinis sehari-hari, khususnya sejak memfokuskan pada psikosomatik, saya sering menjumpai pasien yang datang dengan keluhan fisik yang mengganggu --- seperti jantung berdebar, nyeri lambung, atau migrain --- yang akar masalahnya justru bersumber dari kondisi psikis.
Inilah esensi dari kedokteran psikosomatik yang saya yakini: sebuah pendekatan holistik yang menyatukan 'psiko' (pikiran) dan 'soma' (tubuh).
Ini bukan ilmu semu, melainkan disiplin ilmiah yang melihat bagaimana dinamika pikiran, perasaan, dan stres kronis dapat termanifestasi menjadi keluhan fisik yang sangat nyata.
Merintis Sebuah Modul dari Pengalaman Klinis
Perjalanan pengembangan modul pelatihan ini berawal dari keprihatinan dan observasi saya selama bertahun-tahun menangani pasien. Banyak kasus yang sebenarnya memerlukan pendekatan biopsikososial, tetapi sering kali terlewat karena kurangnya pemahaman.
Pada 2017, bersama rekan-rekan, kami menggagas lokakarya pertamanya di Surakarta. Pandemi sempat menghentikan sejenak, tetapi sejak 2022, dengan semangat baru, kami menghidupkannya kembali. Modul ini kami rancang berdasarkan pengalaman langsung menangani kompleksitas pasien psikosomatik di Indonesia.
Modul ini kami bangun dengan tiga pilar utama:
- Pemahaman Konseptual: Memperkenalkan dasar-dasar psikosomatik yang sering saya terapkan dalam konsultasi.
- Keterampilan Assessment Klinis: Melatih dokter untuk mendiagnosis pasien dengan keluhan fisik berulang yang tidak jelas penyebab medisnya --- sesuatu yang sering saya jumpai.
- Manajemen Holistik: Membekali dokter dengan strategi penanganan berbasis bukti, mulai dari terapi wicara, teknik mindfulness, hingga farmakoterapi yang telah terbukti efektif dalam praktik saya.
Dari Ruang Praktik di Indonesia ke Panggung Dunia
Membawa modul ini ke EAPM 2025 adalah sebuah kebanggaan. Ini adalah bukti bahwa inisiatif lokal yang lahir dari pengalaman klinis puluhan tahun dapat berkontribusi pada percakapan global.
Saat berdiri di depan poster ilmiah saya di Munich, banyak kolega internasional yang tertarik, khususnya dengan keberanian kami mengangkat 'psikosomatik lambung' --- sebuah fokus utama praktik klinis saya sejak 2015.
Mereka penasaran bagaimana kami mengintegrasikan pendekatan ini dalam sistem kesehatan primer yang padat.
Pada Akhirnya, Ini Tentang Memanusiakan Hubungan Dokter–Pasien
Bagi saya, semua ini bukan sekadar prestise akademis. Esensinya adalah bagaimana kita, sebagai dokter, bisa memberikan perawatan yang lebih manusiawi. Pendekatan psikosomatik mengajak kita untuk mendengarkan cerita hidup pasien secara utuh.
Tak jarang, dalam praktik saya, keluhan fisik yang bertahun-tahun tidak kunjung sembuh akhirnya menemukan titik terang ketika pasien merasa benar-benar didengarkan dan dimengerti kondisinya.
Kehadiran Indonesia di Munich adalah sebuah pernyataan: bahwa kami tidak hanya konsumen ilmu pengetahuan, tetapi juga kontributor yang aktif.
Langkah kecil ini saya harap dapat membuka jalan bagi kolaborasi internasional dan terus memajukan pelayanan kesehatan jiwa yang lebih integratif di Tanah Air.
Seperti yang selalu saya sampaikan, kesehatan yang sejati tercipta ketika kita membangun jembatan antara tubuh yang kuat dan pikiran yang tenang.