
Kampoeng Kepiting yang dikelola kelompok masyarakat mandiri di Cilacap tepatnya di Kelurahan Kutawaru, Kecamatan Cilacap Tengah, terdapat salah satu wisata kuliner yang dikenal akan hidangan sekaligus budidaya kepitingnya.
Wisata kuliner ini meraup omzet puluhan juta dalam sebulan. Tempat tersebut adalah Kampoeng Kepiting yang dikelola oleh Kelompok Masyarakat Mandiri Kutawaru.
Uniknya, kampung wisata tersebut dikelola oleh para mantan Tenaga Kerja Wanita (TKW) migran dan para mantan Anak Buah Kapal. Rato, ketua kelompok masyarakat tersebut bercerita berdirinya kampung tersebut memang didasari adanya permasalahan lapangan pekerjaan dari para eks TKW dan ABK.
Dari permasalahan tersebut, akhirnya PT Pertamina (Persero) masuk melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) yakni dengan mendukung berdirinya Kampoeng Kepiting.
“Karena ada potensi lokal di mana di sini ada karena secara geografis kita dikelilingi laut. Sehingga potensi terutama di budidaya Kepiting cangkang lunaknya ini diangkat. Akhirnya ada atau terbentuk adanya Kampoeng Kepiting di Kelurahan Kutawaru,” kata Roto di Kampoeng Kepiting, Cilacap, Jawa Tengah pada Rabu (27/8).
Masuknya program CSR Pertamina tersebut berdasarkan keterangan Roto sudah dimulai sejak tahun 2020. Dalam dukungannya, Pertamina tak hanya memberikan dukungan pendanaan melainkan juga pendampingan.
“Kita memang ada pelatihan-pelatihan, diawali dari pelatihan. Terus memang melihat potensi-potensi yang ada di daerah kami dan ketika kami ada potensi yang bagus kita memang ke CSR Pertamina untuk mengajukan usulan sesuai dengan potensi yang ada di wilayah kami,” ujarnya.

Dengan begitu, Kampoeng Kepiting memiliki model bisnis budidaya kepiting dengan berbagai macam inovasi. Setelah itu, kepiting yang dihasilkan dijual sebagai hidangan yang menjadi kuliner khas Kampoeng Kepiting.
Inovasi Baru-Omzet Puluhan Juta

Terkait dengan inovasi, Roto juga bercerita bahwa saat ini di Kampoeng Kepiting terdapat budidaya kepiting cangkang lunak dengan metode ‘rusun tinggi’. Metode ini merupakan budidaya menggunakan box-box bertingkat sehingga kepiting bisa dibudidayakan secara lebih fleksibel.
“Jadi semua masyarakat di sini bisa mengembangkan budidaya Kepiting tidak hanya di tambak, tapi di emperan rumah, di belakang rumah, bahkan ibu-ibu sendiri itu bisa merawat, bisa memberi pakan dan panen,” cerita Roto.
Dengan adanya inovasi tersebut, Roto juga berharap akan banyak lapangan kerja baru yang tercipta di sana. Dari pengelolaan Kampoeng Kepiting, omzet yang dihasilkan juga bisa mencapai puluhan juta.
“Kita hampir per bulan itu 80-90 juta per bulan dan ini sangat membantu masyarakat kami yang tadinya sama sekali tidak punya mata pencaharian yaitu tadinya ex-ABK, ex-TKW, dengan adanya program ini mereka dapat merasakan hasilnya,” tutur Roto.
Meski demikian, Roto bercerita saat ini penjualan kepiting yang dihasilkan dari budidaya masih hanya untuk lingkungan Kampoeng Kepiting saja dan belum diserap ke luar. Hal ini karena untuk memasarkannya ke luar, akan ada tuntutan kontrak sementara inovasi budidaya masih terus berjalan.
“Jadi ketika kita dalam istilahnya ada kontrak harus sekian bulan, sekian tahun akhirnya kita tidak bisa memenuhi. Karena kita masih berproses dengan tadi inovasi rusun tinggi, diharapkan nanti akan ada plasma-plasma di masyarakat, sehingga hasil lebih banyak, sehingga bisa untuk memenuhi permintaan dari luar kota,” ujarnya.
Inovasi yang dilakukan terkait budidaya kepiting berdasarkan cerita Roto adalah metode penangkapan baru menggunakan botol bekas untuk menangkap beberapa hewan lain dan bukan hanya kepiting yang ada di tambak. Inovasi tersebut diberi nama sebagai ‘wadong bahan bekas’.
“Nah itu menjadi alat tangkap inovasi kita, sehingga yang tadinya wadong itu cuma bisa menangkap kepiting, tapi dengan wadong bahan bekas ini bisa menangkap ikan, udang, bahan kepiting,” kata Roto.
Selain budidaya kepiting cangkang lunak, Roto juga mengungkap Kampoeng Kepiting juga memiliki potensi lain yakni nipah.
Karena Kampoeng Kepiting dikelilingi laut, maka penanaman pohon mangrove sering dilakukan. Dalam hal ini, polybag plastik yang biasanya digunakan dalam proses penanaman bisa diganti dengan kantung yang berbahan dasar nipah.
“Yang tadinya kita menanam dengan plastik yang kalau mau menanam dilepas, tapi dengan nipah ini menjadi istilahnya pupuk organik,” kata Roto.