
ADA yang menarik dari pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto dalam rangka HUT ke-80 RI di hadapan sidang tahunan MPR pada Jumat (15/8). Presiden Prabowo menjelaskan, “Kami pastikan rakyat Indonesia tidak menjadi korban serakahnomics korban para pengusaha yang mengejar keuntungan sebesar-besarnya dengan menipu dan mengorbankan rakyat Indonesia.” Istilah serakahnomics itu bentuk 'kegeraman' Presiden terhadap para pengusaha yang tidak peduli dengan kondisi bangsa.
SERAKAHNOMICS
Istilah serakahnomics pertama kali diperkenalkan Presiden Prabowo dalam pidatonya saat menutup Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Surakarta (Solo) pada 20 Juli 2025. Dalam kesempatan itu, Prabowo mengkritik praktik ekonomi yang dilandasi keserakahan para elite, yang disebutnya melewati batas kewajaran dan moralitas. Kekayaan yang dimiliki Indonesia sangat luar biasa, tetapi sayangnya, masih banyak orang jahat alias maling yang mengambil seluruh kekayaan negara. Selanjutnya, Presiden Prabowo juga kembali menyampaikan hal yang sama dalam perayaan harlah ke-27 PKB pada Rabu (23/7) di JCC Senayan.
Dalam pidato kenegaraan tersebut, Presiden Prabowo mencontohkan ironi yang terjadi pada kelapa sawit. Indonesia merupakan produsen crude palm oil (CPO) terbesar di dunia, tetapi beberapa waktu yang lalu pernah mengalami kelangkaan minyak goreng selama berbulan-bulan. Hal itu tentu bukan disebabkan kegagalan produksi, melainkan bisa dipastikan merupakan hasil dari manipulasi pasar yang dilakukan para pelaku usaha tanpa memikirkan dampaknya bagi masyarakat luas.
Serakahnomics itu kemudian menimbulkan distorsi yang besar dalam sistem distribusi dan subsidi yang sudah diprogramkan pemerintah untuk membantu para petani dan masyarakat bawah. Presiden Prabowo menengarai subsidi pupuk serta alat dan mesin pertanian (alsintan) tidak memiliki dampak kepada para petani karena distribusinya dikuasai pihak-pihak tertentu. Begitu pula dengan subsidi beras yang tidak berpengaruh terhadap harga pangan yang tetap tinggi. Dominasi pasar oleh segelintir pihak sebagai dampak kelemahan regulasi dan pengawasan yang terjadi selama ini.
Praktik serakahnomics juga tergambar dalam perilaku membawa kekayaan negara ke luar negeri (net outflow of national wealth), yang menyebabkan terjadinya kebocoran kekayaan negara yang dibawa ke luar negeri. Presiden Prabowo mengindikasikan praktik tersebut sedang terjadi, banyak kekayaan nasional bangsa Indonesia dibawa keluar negeri oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, yang hanya mencari keuntungan pribadi dan kelompoknya belaka. Bila kondisi itu terus dibiarkan tanpa mampu dicegah, Indonesia berpotensi menjadi negara gagal.
Presiden Prabowo sepertinya sudah menyadari sepenuhnya, ketika pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan tidak konsekuen dan konsisten dalam menjalankan konstitusi ekonomi, yang terjadi ialah distorsi ekonomi yang tajam. Stagnasi pertumbuhan ekonomi sebesar kurang lebih 5% yang terjadi dalam satu dekade terakhir bukti terjadinya ketimpangan ekonomi. Kue pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati segelintir orang. Bahkan, jurang pemisah antara yang kaya dan miskin semakin dalam. Artinya Presiden mengakui kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat rendah.
KEMBALI KE JALAN EKONOMI KONSTITUSI
Keinginan Presiden Prabowo untuk kembali ke UUD NRI 1945 juga tersampaikan dalam pidato tersebut. Presiden menyebut bahwa Pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) ialah benteng pertahanan ekonomi nasional, telah terabaikan selama ini, dan seolah-olah ayat-ayat dalam pasal itu tidak relevan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang modern. Padahal, penyusunan pasal-pasal dalam konstitusi ekonomi bersumber dari visi bangsa Indonesia dan pandangan jauh ke depan para pendiri bangsa (founding fathers), dalam menyusun rancang bangun negara yang kuat dan kukuh.
UUD NRI 1945 sesungguhnya telah meletakkan dasar-dasar yang kukuh untuk memakmurkan masyarakat. Hal itu tecermin pada penggunaan anggaran negara yang harus dipergunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Konstitusi juga memberikan panduan kepada pemimpin negara untuk menyusun perekonomian secara adil berdasarkan atas asas kekeluargaan, sebagaimana yang terdapat dalam konstitusi negara Pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5). Setiap kebijakan, aturan, dan program yang dibuat pemerintah haruslah sejalan dengan ayat-ayat konstitusi tersebut.
Pada ayat (1) penggunaan kata disusun sebagai bentuk imperatif yang berarti harus disusun dan tidak boleh dibiarkan tersusun dengan sendirinya. Perekonomian harus disusun dan tidak boleh dibiarkan tersusun sendiri melalui mekanisme pasar bebas karena jika perekonomian dibiarkan tersusun sendiri seperti dalam aliran competitive economics, akan berdampak pada persaingan yang tidak adil.
Sistem perekonomian nasional tidak didasarkan pada persaingan bebas dan individualisme yang egoistis, tetapi pada semangat gotong royong dan kerja sama untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Dalam ayat (2) negara mengatur kepemilikan sumber daya ekonomi, terutama sumber daya ekonomi yang strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara, sejalan dengan tujuan pembangunan itu sendiri, yaitu mengharapkan terciptanya pemerataan kekayaan dan pendapatan di tengah-tengah masyarakat.
Negara memiliki peran penting dalam mengelola sektor-sektor strategis yang vital bagi kepentingan nasional, dan hajat hidup masyarakat banyak.
Begitu pula pada ayat (3) penguasaan oleh negara atas segenap sumber daya yang terdapat di dalam bumi, air, wilayah udara Indonesia, serta segenap kekayaan yang terkandung di dalamnya haruslah dipergunakan hanya untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. Itu berarti negara memiliki wewenang untuk mengatur, mengurus, dan mengelola sumber daya alam tersebut demi kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia. Seluruh rakyat tanpa terkecuali harus mendapat manfaat dari usaha pemanfaatan kekayaan alam yang tersedia di bumi Indonesia.
Dalam Pasal 33 ayat (4) disebutkan, perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dan prinsip lainnya, seperti kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, dan menjaga keseimbangan kemajuan serta kesatuan ekonomi nasional. Unsur efisiensi berkeadilan menunjukkan bahwa dalam menjalankan perekonomian, harus ada keseimbangan antara efisiensi dalam penggunaan sumber daya dan keadilan dalam distribusi manfaat.
Terakhir, Pasal 33 ayat (5) menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal itu diatur dalam undang-undang. Artinya, ayat itu memberikan kewenangan kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur lebih detail pelaksanaan dari seluruh ketentuan yang ada dalam Pasal 33 UUD 1945. Maknanya, sudah saatnya Indonesia memiliki UU khusus yang terkait mengenai perekonomian Indonesia. UU itu nantinya akan mengejawantahkan sistem ekonomi Indonesia.
Sudah sepatutnyalah jika gerakan untuk kembali ke landasan konstitusi ekonomi dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo. Presiden harus memastikan pelaksanaan setiap makna yang terkandung dalam setiap ayat pasal konstitusi ekonomi tersebut bisa terlaksana dengan baik dalam setiap regulasi dan kebijakan yang akan dijalankan. Dengan demikian, pada pidato kenegaraan memperingati HUT ke-81 RI pada 2026 mendatang, Presiden akan menyampaikan bahwa amanah konstitusi sudah dijalankan dengan baik dan kehidupan rakyat semakin sejahtera. Merdeka!