Liputan6.com, Jakarta - Fenomena anak sekolah berangkat dengan perut kosong masih menjadi masalah serius di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa 41 persen anak usia sekolah tidak sarapan sebelum berangkat ke sekolah.
Padahal, sarapan seharusnya menjadi sumber energi utama untuk belajar. Fakta terbaru justru mengungkap hanya 10 persen anak Indonesia yang mendapatkan sarapan seimbang, sementara 25 persen hanya mengonsumsi karbohidrat, dan 50 persen lainnya sekadar makan satu jenis makanan saja.
Kebiasaan ini berdampak langsung pada kesehatan dan konsentrasi. Anak yang tidak sarapan cenderung kurang fokus, lebih mudah lelah, dan memiliki daya serap pelajaran yang rendah. Kondisi ini berisiko menurunkan prestasi akademik sekaligus membuat anak tertinggal dalam persaingan pendidikan.
"Kondisi ini bukan sekadar masalah individu, tetapi ancaman terhadap kualitas sumber daya manusia Indonesia menuju visi Indonesia Emas 2045," ujar Prof. Dr. Ir. Ikeu Tanziha dari Badan Gizi Nasional.
Dia, menegaskan, kebiasaan gizi buruk sejak kecil membuat anak lebih rentan mengalami gizi kurang, obesitas, hingga stunting. Dampaknya tidak hanya pada kesehatan fisik, tapi juga perkembangan kognitif dan daya saing di masa depan.
Anak Tidak Sarapan, Prestasi Akademik Terancam
Prof. Ikeu menambahkan bahwa kebiasaan sarapan asal-asalan sama berbahayanya dengan tidak sarapan. Dari data yang ada, 40 persen anak hanya makan satu atau dua jenis makanan sederhana, seperti nasi dengan bawang atau nasi dengan jagung goreng, tanpa gizi seimbang.
"Hal ini mengkhawatirkan karena sarapan adalah ‘bahan bakar otak’ bagi anak usia sekolah. Tanpa asupan gizi cukup, mereka kesulitan mencapai prestasi optimal," katanya.
Sarapan Asal-Asalan Picu Masalah Gizi
Lebih jauh, pola sarapan yang salah bisa memperburuk kondisi triple burden malnutrition di Indonesia. Gizi kurang, obesitas, dan stunting. Jika anak tidak terbiasa makan bergizi seimbang sejak dini, risiko menghadapi masalah kesehatan tersebut semakin besar.
Dampak buruk kekurangan gizi juga tidak berhenti di masa anak-anak. Prof. Ikeu, menegaskan, efeknya bisa menurunkan kualitas sumber daya manusia di masa depan.
"Kalau anak hidup dalam kondisi kekurangan gizi pada awal kehidupan, maka produktivitas pada masa dewasa akan menurun. Pertama, menurunnya PDB karena produktivitas rendah. Kedua, meningkatnya biaya pelayanan kesehatan akibat kondisi tersebut," katanya.
Artinya, masalah sarapan dan gizi anak sekolah bukan hanya isu kesehatan, melainkan juga ancaman serius terhadap pembangunan ekonomi dan daya saing bangsa.