Liputan6.com, Jakarta - Kasus dugaan intimidasi dokter di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sekayu, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, baru-baru ini menjadi sorotan publik.
Video yang beredar di media sosial memperlihatkan seorang pria, yang merupakan keluarga pasien, memarahi dokter spesialis penyakit dalam, dr. Syahpri Putra Wangsa, Sp.PD, K-GH, FINASIM, terkait prosedur pemeriksaan dahak untuk mendiagnosis tuberkulosis (TBC).
Dikutip dari video yang diunggah ulang akun TikTok @kawesusu pada Kamis, 14 Agustus 2025, pria tersebut meluapkan emosinya karena merasa pelayanan yang diberikan lambat. Dia mengaku kecewa meski sudah menyewa ruang VIP di rumah sakit tersebut.
Peristiwa intimidasi dokter Sekayu ini pun memicu reaksi keras dari warganet dan tenaga kesehatan yang menilai tindakan tersebut tidak pantas.
"Ibu saya ini tiap hari disuruh tunggu dahak. Kita sewa ruangan VIP ini untuk pelayanan yang bagus, yang layak, bukan sekadar suruh nunggu. Ini nyawa, ini emak saya. Jangan kamu kayak kesannya main-main, berdalih nunggu air ludah (dahak). Saya minta tindakan yang pasti," ujarnya dengan nada tinggi.
Situasi memanas ketika pria lain yang berada di lokasi terlihat membuka masker dokter secara paksa dan memintanya memberikan penjelasan langsung. Aksi ini menambah sorotan publik terhadap dugaan intimidasi dokter Sekayu yang dinilai mencederai etika dan keselamatan tenaga medis.
Penjelasan Dokter Soal Pemeriksaan Dahak
Dalam kondisi tertekan, dr. Syahpri tetap berusaha tenang dan menjelaskan bahwa pemeriksaan dahak merupakan prosedur standar untuk memastikan diagnosis TBC.
Menurutnya, pasien yang merupakan ibu dari pria tersebut masuk rumah sakit dalam kondisi tidak sadar akibat hipoglikemia (gula darah rendah) dan tekanan darah yang tidak terkontrol.
Hasil rontgen menunjukkan adanya infiltrate atau bercak pada paru-paru kanan, yang merupakan gambaran khas TBC. Untuk memastikan, diperlukan pemeriksaan dahak di laboratorium.
"Nunggu dahak, kasih obat-obatan untuk menguji ke laboratorium, kita harus cek dahaknya, itu cara pemeriksaan pastinya," kata dr. Syahpri.
Namun, keluarga pasien menolak menunggu dan menganggap dahak sama seperti air liur yang bisa diambil kapan saja. Padahal, proses pengambilan dahak sering memerlukan waktu lebih dari satu hari, tergantung kondisi pasien.
Prof Tjandra: Prosedur Ini Wajib dan Berdasar Ilmiah
Menanggapi kasus intimidasi dokter Sekayu ini, Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Prof. Tjandra Yoga Aditama, menegaskan bahwa pemeriksaan dahak adalah prosedur wajib dan memiliki dasar ilmiah kuat, baik secara internasional maupun nasional.
"Penggunaan pemeriksaan dahak untuk mendiagnosis tuberkulosis adalah berdasar penelitian ilmiah internasional yang bereputasi tinggi. Tata cara ini ada dalam panduan WHO yang diikuti seluruh negara di dunia, juga dalam panduan Kementerian Kesehatan RI dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia," kata Prof. Tjandra kepada Health Liputan6.com, Kamis, 14 Agustus 2025.
Dia, menjelaskan, pemeriksaan dahak tidak dilakukan untuk memperlambat penanganan pasien, melainkan demi memastikan diagnosis yang akurat. Dengan hasil yang tepat, dokter dapat memberikan pengobatan yang sesuai dan efektif bagi pasien.
"Pemeriksaan dahak itu adalah demi kepentingan pasiennya. Jadi amat salah kalau dokter sampai harus dikata-katai kasar karena melakukan pemeriksaan sesuai prosedur," tambahnya.
Kekerasan terhadap Tenaga Kesehatan Harus Dihentikan
Prof. Tjandra juga menyoroti bahwa kasus di RS Sekayu ini kembali menunjukkan risiko kekerasan yang dihadapi tenaga medis dalam menjalankan tugasnya. Baik kekerasan verbal maupun fisik tidak dapat dibenarkan dalam situasi apapun, apalagi saat dokter sedang berupaya menyelamatkan nyawa pasien.
"Dokter bertugas menangani kesehatan pasiennya dan akan berupaya maksimal agar penanganannya memberi hasil terbaik. Tentu jelas salah besar kalau ada tindakan kekerasan pada orang yang sedang menangani kesehatan kita atau keluarga kita," ujarnya.
Dia menekankan dua langkah penting yang perlu segera diambil. Pertama, penegakan hukum oleh aparat kepolisian terhadap pelaku intimidasi atau kekerasan pada tenaga kesehatan.
Kedua, perlunya tindakan nyata dari pemerintah dan pembuat kebijakan publik untuk melindungi dokter dan tenaga medis lainnya di seluruh Indonesia.
"Kata-kata klise adalah semoga kejadian kekerasan pada dokter (dan tenaga kesehatan lain) dalam menjalankan profesinya jangan berulang lagi. Tapi yang jauh lebih penting adalah tindakan nyata. Stop kekerasan!" kata Prof. Tjandra.
Edukasi Publik soal Prosedur Medis
Kasus ini menjadi momentum penting untuk mengedukasi masyarakat mengenai prosedur medis, khususnya pemeriksaan dahak dalam diagnosis TBC. Masih banyak orang yang salah kaprah menganggap dahak sama dengan air liur dan bisa diambil kapan saja.
Padahal, pemeriksaan dahak memerlukan sampel dari saluran pernapasan bawah yang biasanya diambil pada pagi hari saat batuk pertama kali. Proses ini membutuhkan kerja sama pasien, dan dalam beberapa kasus memerlukan waktu berhari-hari. TBC sendiri masih menjadi salah satu masalah kesehatan terbesar di Indonesia.
Menurut data Kementerian Kesehatan RI, Indonesia berada di peringkat kedua dunia untuk jumlah kasus TBC terbanyak. Pemeriksaan dahak menjadi kunci penting dalam memastikan diagnosis sebelum memulai pengobatan.
Peristiwa intimidasi dokter Sekayu diharapkan menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak. Hubungan antara dokter dan pasien, termasuk keluarganya, perlu dibangun atas dasar saling percaya dan menghormati.
Dokter membutuhkan kerja sama dari pasien dan keluarga untuk menjalankan prosedur sesuai standar medis. Sebaliknya, tenaga kesehatan juga perlu memberikan penjelasan yang jelas dan komunikatif agar pasien dan keluarganya memahami alasan di balik setiap tindakan.
Di tengah viralnya kasus ini, warganet memberikan dukungan moral kepada dr. Syahpri dan tenaga medis lainnya.
Banyak yang berharap kasus ini diproses secara hukum agar menjadi efek jera bagi pihak-pihak yang mencoba mengintimidasi tenaga kesehatan.
Pada akhirnya, keselamatan pasien adalah tujuan utama. Seperti yang disampaikan Prof. Tjandra, pemeriksaan dahak bukanlah hambatan, melainkan jembatan menuju pengobatan yang tepat dan efektif bagi penderita TBC.