AHLI gizi Tan Shot Yen mengkritik program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dinilainya melenceng dari tujuan edukasi gizi. Menurut dia, program ini justru memberi ruang bagi produk makanan instan dan produk ultra proses (UPF).
“Bangsa kita tidak butuh (susu) formula. Bangsa kita butuh edukasi. Anak bisa menyusui dengan baik sampai dengan insya Allah 2 tahun,” ujar Tan saat paparannya kepada Komisi IX DPR di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senin, 22 September 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Hal itu ia sampaikan dalam audiensi dengan Komisi IX DPR bersama Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak (GKIA), serta Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI). Dalam kesempatan itu, Tan menyinggung kerja sama Badan Gizi Nasional dengan perusahaan susu formula, salah satunya Danone.
“BGN sendiri menandatangani kerjasama dengan Danone. Kita tahu banget, Danone itu adalah salah satu perusahaan susu formula,” ujar dia.
Ia menilai perjanjian tersebut bertentangan dengan aturan pemerintah. Menurut dia, bangsa Indonesia tidak membutuhkan susu formula lanjutan. “BGN sendiri melanggar undang-undang yang dibuat, peraturan pemerintah, karena akhirnya mereka memberikan paket MBG, yaitu formula,” ujar dia.
Dalam catatan Tempo, BGN menjalin kesepakatan kerja sama dengan PT Sarihusada Generasi Mahardhika, anak usaha dari Danone Group yang diklaim untuk mendukung program MBG. Hal ini ditandai pelaksanaan penandatanganan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) antara Kepala BGN Dadan Hindayana dan CEO Danone Antoine Bernard de Saint Affrique yang berlangsung di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, 28 Mei 2025.
"Tujuan dilaksanakannya Nota Kesepahaman ini adalah untuk mendukung dan memperkuat Program Makan Bergizi Gratis guna mencapai dampak yang signifikan dalam upaya pemenuhan gizi nasional dan penurunan prevalensi anemia defisiensi besi dan stunting melalui program," kata Dadan saat itu.
Tan mengungkapkan empat reformasi yang mesti diperhatikan dalam program MBG. Pertama, menghentikan distribusi makanan kering berbasis produk industri ultra proses atau UPF. Kedua, menghentikan operasional Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang masih berstatus potensial. Ketiga, menutup SPPG yang telah terbukti bermasalah, terutama karena lemahnya standar keamanan pangan serta ketidaktahuan tenaga pelaksana. Keempat, menerapkan sistem monitoring, evaluasi, dan supervisi yang akuntabel untuk memastikan kualitas dan keamanan program.
Program MBG, kata Tan, dinilai perlu diperbaiki dengan lima rekomendasi utama. Pertama, fokus diarahkan ke wilayah 3T dengan memodifikasi pola distribusi, memberdayakan kantin sekolah, dan tidak terpaku pada dapur SPPG yang mahal. Kedua, program harus melibatkan kerja sama dengan dinas kesehatan dan puskesmas untuk fungsi supervisi dan evaluasi.
Ketiga, transparansi pengelolaan dapur dan penyajian makanan perlu dibuka ke publik. Keempat, penting ada edukasi gizi agar anak-anak terbiasa mengonsumsi sayur dan lauk beragam. Terakhir, pelaksanaan wajib melibatkan tenaga gizi puskesmas agar program lebih tepat sasaran dan berkelanjutan.