Liputan6.com, Jakarta - Kecerdasan buatan, atau artificial intelligence (AI), kini tidak hanya dimanfaatkan untuk membantu menyelesaikan pekerjaan dan tugas. AI, khususnya yang berbentuk chatbot, juga semakin sering digunakan sebagai teman curhat oleh banyak orang.
Beberapa jenis chatbot AI bahkan menawarkan berbagai layanan, termasuk konsultasi kesehatan yang dapat diakses dengan mudah hanya melalui internet.
Namun, di balik kemudahan tersebut, pakar mengingatkan bahwa diagnosis kesehatan yang diberikan chatbot berisiko tinggi. AI, bagaimanapun, tetap tidak bisa menggantikan peran dokter.
"Sering kali chatbot dirancang untuk memudahkan Anda, bersikap positif, dan hanya menjelaskan apa yang Anda miliki. Padahal, itu saja tidak cukup," kata Kepala Pengujian Produk Ipsos Global, Dr. Nikolai Reynolds, dalam acara AI-Driven Innovation: Unlocking New Horizon yang digelar pada Selasa, 12 Agustus 2025.
Jawaban yang diberikan AI memang kerap terdengar meyakinkan, tapi diagnosis tersebut belum tentu benar. AI dibangun untuk merespons dengan jawaban yang menenangkan, tanpa analisis medis yang mendalam.
Risiko “Halusinasi” Informasi dari Chatbot
Fenomena di mana jawaban dari AI tampak benar dan meyakinkan dinamakan dengan “halusinasi”. Hal ini yang membuat mengapa respons dari chatbot tidak bisa menjadi satu-satunya hal yang diandalkan.
“Tidak boleh dilakukan, Masih perlu menantang apakah dia berhalusinasi,” ujar Nikolai menanggapi pertanyaan “apakah boleh berkonsultasi kesehatan hanya pada AI?”.
Menurut Nikolai, jawaban yang dikeluarkan oleh AI terbatas pada input data yang terbatas, bukan didasarkan atas data medis.
“Bayangkan, kita bercerita tentang kondisi kesehatan kita dari A sampai B. Mereka bilang kita baik-baik saja. Itu halusinasi,” jelas Nikolai.
Hasil diagnosis yang diberikan oleh AI berpotensi menyesatkan, sebab untuk menyimpulkan kondisi kesehatan diperlukan juga pemeriksaan fisik, tes laboratorium, atau analisis medis lanjutan.
“Yang benar adalah, kita membutuhkan analisis yang lebih dalam untuk menentukan penyakit apa yang diderita,” ujar Nikolai.
Pentingnya Pemeriksaan dan Konsultasi Medis Langsung
Menurut Nikolai, pemeriksaan medis secara langsung oleh tenaga medis tetap menjadi satu-satunya cara untuk mendapatkan diagnosis yang akurat. AI model chatbot sangat tidak mungkin mendiagnosis dengan akurat.
“Yang benar adalah perlu analisis lebih lanjut untuk menentukan penyakit. Misalnya, tes darah. Itu tidak mungkin dilakukan oleh chatbot,” tegasnya.
Sejumlah pemeriksaan untuk melihat kondisi kesehatan tidak dapat digantikan oleh AI, seperti pemeriksaan laboratorium, rontgen, atau tes penunjang lainnya.
Nikolai menyebut, AI chatbot dapat digunakan untuk berkonsultasi kesehatan, namun tidak menjadi satu-satunya sumber untuk mendiagnosis masalah kesehatan.
“Jangan bergantung padanya. Anda bisa menggunakannya, tetapi Anda tetap harus memilih opsi lain, ke dokter,” kata Nikolai.
Chatbot mungkin bisa membantu mengarahkan pasien untuk memeriksakan diri, tetapi tetap tidak bisa menyimpulkan diagnosis.
AI sebagai Alat Bantu Tenaga Medis, Bukan Pengganti
Nikolai menekankan bahwa peran terbaik bagi AI di bidang kesehatan adalah sebagai pendukung kerja dokter, bukan sebagai pengganti.
“Dokter bisa menggunakan AI untuk memperkaya dan mendapatkan wawasan tambahan. Tapi saya tidak melihatnya dari sisi pasien untuk mengobati diri sendiri,” ujar Nikolai.
Melalui teknologi canggih yang dibawa AI dan dukungan input data yang benar, AI dapat membantu dokter mengoptimalkan waktu, dengan mempercepat analisis serta mempertajam diagnosis.
“Dokter yang menggunakan AI jauh lebih sukses dibandingkan dengan yang tidak. Banyak dokter yang telah menggunakan AI untuk mengidentifikasikan kanker kulit dengan lebih efektif,” kata Nikolai.
Namun, jika AI digunakan tanpa pengawasan tenaga medis, yang terjadi adalah risiko kesalahan yang sangat besar. Apalagi, data dari AI juga bergantung pada data publik yang terus berubah sepanjang waktu.