Liputan6.com, Jakarta - Belakangan viral di media sosial soal dugaan intimidasi dokter di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sekayu, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Seorang dokter penyakit dalam dipaksa buka masker dan dilempari kata-kata intimidasi oleh keluarga pasien karena enggan menunggu pemeriksaan dahak. Padahal, dahak ini diperlukan untuk menentukan kondisi pasien yang diduga terkena tuberkulosis (TBC).
Peristiwa ini mendapat tanggapan dari Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Profesor Tjandra Yoga Aditama.
Menurutnya, dokter bertugas menangani kesehatan pasiennya, dan akan berupaya maksimal agar penanganannya memberi hasil terbaik.
"Tentu jelas salah besar kalau ada tindakan kekerasan (verbal atau fisik) pada orang yang sedang menangani kesehatan kita atau keluarga kita," kata Tjandra dalam keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Kamis, 14 Agustus 2025.
Dalam video viral yang beredar, terlihat keluarga pasien marah-marah tentang pemeriksaan dahak untuk diagnosis tuberkulosis (TB).
"Penggunaan pemeriksaan dahak untuk mendiagnosis tuberkulosis adalah berdasar penelitian ilmiah internasional yang bereputasi tinggi," katanya.
Tata cara mendiagnosis TB dengan dahak ada dalam panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang diikuti seluruh negara di dunia.
Adajuga dalam panduan Kementerian Kesehatan RI dan organisasi profesi seperti Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI).
"Jadi, ini prosedur berdasar ilmiah, juga berdasar rekomendasi internasional dan nasional. Dan, yang lebih penting lagi adalah bahwa pemeriksaan dahak itu adalah demi kepentingan pasiennya," Kata Prof. Tjandra.
"Jadi, amat salah kalau dokter sampai harus dikata-katai kasar karena melakukan pemeriksaan dahak untuk diagnosis tuberkulosis," tambahnya.
Santri yang berada di pesantren sebaiknya di cek kesehatannya untuk mencegah penularan penyakit termasuk tuberkulosis (TBC). Penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang rentan terjadi di pesantren.
Peran Polisi dan Pemerintah
Tjandra menilai bawa kejadian di RS di Sekayu ini kembali menunjukkan bahwa dokter dan tenaga kesehatan lain menghadapi risiko kekerasan dalam menjalankan tugasnya.
Ada dua yang perlu segera dilakukan menurut Tjandra. Pertama, tindakan oleh aparat kepolisian. Kedua, yang jauh lebih penting adalah dilakukannya kegiatan nyata pemerintah dan penentu kebijakan publik untuk melindungi dokter dalam melakukan kerja profesinya.
"Kata-kata klise adalah semoga kejadian kekerasan pada dokter (dan tenaga kesehatan lain) dalam menjalankan profesinya jangan berulang lagi. Perlu tindakan nyata, setop kekerasan," kata Prof. Tjandra menegaskan.
Kronologi Dugaan Intimidasi Dokter di RSUD Sekayu
Dalam video yang tersebar di berbagai platform, peristiwa terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah Sekayu, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Dalam video, seorang pria yang merupakan keluarga dari pasien, marah-marah terhadap dokter penyakit dalam yang diketahui bernama dr. Syahpri Putra Wangsa, Sp.PD, K-GH, FINASIM.
Kemarahan diduga akibat pelayanan yang dinilai lambat dan ruangan yang tidak sesuai ekspektasi keluarga pasien.
"Ibu saya ini tiap hari disuruh tunggu dahak, kita sewa ruangan VIP ini untuk pelayanan yang bagus, yang layak, bukan sekadar suruh nunggu. Ini nyawa, ini emak saya, jangan kamu kayak kesannya main-main, berdalih nunggu air ludah (dahak), saya minta tindakan yang pasti," ujar pria itu sambil merekam sosok dokter Syahpri, mengutip video viral yang diunggah ulang akun Tiktok @kawesusu, dikutip pada Kamis (14/8/2025).
Dengan kata lain, pria tersebut enggan menunggu lebih lama lagi terkait berbagai prosedur pemeriksaan dan ingin ibunya segera ditangani. Pasalnya, ia membayar untuk ruang VIP dan berharap tindakan yang cepat tanpa menunggu hasil pemeriksaan dahak.
Situasi memanas ketika pria lainnya membuka masker dokter secara paksa dan memaksanya untuk memberi penjelasan.
Enggan Tunggu Pemeriksaan Dahak
Dalam keadaan tertekan, Syahpri berupaya untuk tetap tenang dan menjelaskan prosedur yang dilakukan pada pasien.
“Ibu ini masuk RS dengan kondisi tidak sadar, akibat hipoglikemi atau gula darah sangat rendah. Tekanan darahnya tidak terkontrol, kemudian kita lakukan pemeriksaan, dilakukan rontgen dan didapatkan adanya infiltrate atau gambaran bercak di paru-paru kanan, gambaran khas dari TBC,” jelas Syahpri.
Guna memastikan bahwa itu benar-benar penyakit TBC, maka Syahpri pun perlu memeriksa dahak pasien. Sayangnya, dalam proses menunggu dahak, keluarga atau anak pasien enggan menunggu lebih lama lagi dan ingin penanganan segera. Pria itu tidak menjelaskan proses menunggunya memakan waktu berapa lama, tapi ia sempat menyebut “berhari-hari.”
Pria itu pun menganggap bahwa dahak adalah air liur yang bisa diambil kapanpun tanpa ditunggu.
Padahal, menurut Syahpri, dahak berbeda dengan air liur, dan pemeriksaan TBC memang harus menggunakan dahak agar diketahui secara pasti.
“Nunggu dahak, kasih obat-obatan untuk menguji ke laboratorium, kita harus cek dahaknya, itu cara pemeriksaan pastinya,” jelas Syahpri.
Dalam detik-detik terakhir video, anak pasien sempat melontarkan kata-kata ancaman terhadap dokter.
“Urus balik, kalau masih mau hidup urus balik ibu saya,” ujar pria di balik kamera itu.